Sabtu, 27 April 2013

Ola..la part6



Say Goodbye Prancis and Hi Jakarta

          Rendis sibuk membantu kami mengeluarkan koper dari mobil, hari ini aku dan Daniel akan kembali ke Jakarta. Sebelum masuk ke dalam airport, aku menyodorkan kameraku ke Rendis, aku berpose di depan airport, dan saat Rendis menekan tombol kameraku, Daniel tepat berada di sisiku memegang pundakku.
                       
“Tamu ga di undang, bikin foto aku jadi jelek aja nih.”

“Sengaja.” Daniel nyengir ke arahku dan melambai ke arah Rendis, aku ikut melambai ke arah Rendis mengucapkan terima kasih. Daniel berjalan di depanku memasuki lobi airport. Saat berada di dalam lobi, Daniel menyodoriku sebuah kantung, dan saat aku buka ternyata isinya sebotol wine.

“Serius nih buat aku?”

“Siapa bilang buat kamu. Itu aku titip, nanti turun pesawat aku ambil lagi.” Dia nyengir kuda lagi.

“Iyalah serius buat kamu, kalau di Jakarta kamu minum itu terus ga bangun seharian, kan bukan tanggung jawab aku.”

          Aku memukul tangan Daniel untuk ke…….sekian kalinya. Daniel setengah berlari menghindari gerakan tanganku, “wah, sudah paham yah.” Aku nyengir kuda ke arahnya. Ga kerasa, 8 hari di Prancis bareng Daniel, waktu yang singkat, tapi aku sama sekali ga merasa canggung, malah sangat senang saat bercanda dan marah-marah ke dia. Setelah sampai di Jakarta, apa mungkin aku masih bisa berteman dengan nya. Aku aja ga tahu siapa dia, dia orang baik atau jangan-jangan pria ga benar.

          Kami menaiki tangga pesawat, dan Daniel membantuku membawa beberapa tas kecilku, dia benar-benar simple, hanya sebuah koper ukuran sedang yang dia bawa. Kalau aku, kayanya cuma muat 2 stel baju koper ukuran segitu, belum lagi harus bawa lotion ini krim itu. Nah, aku aja bawa koper besar plus plus, plus tas tenteng kecil, plus tas slempang.
         
          Aku duduk bersebrangan dengan Daniel, dia sibuk memasukkan barang-barang ke kabin, dan aku duduk memperhatikannya. Aku jadi berpikir, waktu keberangkatan apa aku duduk sedekat ini dengan dia, kenapa aku ga sadar yah. Daniel sudah selesai memasukan semua barang, dia duduk di tempatnya. Sesaat dia melirik ke arahku, dan menyuruhku untuk tidur saja. Aku hanya mengangguk menanggapinya. Aku meluruskan pandanganku ke kursi depanku, lalu menyandarkan kepalaku, dan tertidur.

          Sepertinya aku tidur cukup lama, leherku sampai sakit. Aku melirik ke arah Daniel, di sedang melihatku, dan langsung berpaling ke arah lain saat menyadari aku melihatnya. “Daniel, kamu ga tidur?”

“Ga ngantuk, tapi jadi ngantuk sekarang, Daniel menutup matanya.”

“Ya sudah, tidur aja sana.”

“ini mau tidur, jangan berisik.”

“yee, siapa yang berisik.”

“siapa lagi, yah kamu lah yang berisik.”

“ih, semua orang juga tahu, berisikan kamu.”

“ssstttt.” Kali ini bukan suara Daniel, tapi suara orang disamping kursi aku. Otomatis aku menoleh ke arahnya dan mempertunjukkan deretan gigi kuningku.

“Tuh, semua orang juga tau kamu yang berisik, terbukti.” Daniel berbisik ke arahku sambil nyengir kuda. Aku memelototinya, dan dia menoleh meluruskan pandangan nya ke kursi depannya, dan menutup matanya.

          Aku sibuk membolak-balik majalah, membaca beberapa artikel, dan terkena virus bosan di tengah membaca, membalik halaman lagi, membaca judul dan bosan, membalik lagi, lagi, dan akhirnya aku tutup majalahnya. Aku mencoba memejamkan mata lagi, berharap bisa tertidur lagi. Tapi sepertinya ga perlu berharap bisa tertidur,-sudah dapat dipastikan aku akan tertidur-, cukup 5 menit menutup mata, bernapas teratur, dan cling, aku pindah alam.
          Terdengar sayup-sayup suara seorang pramugari, Daniel mencolek pundakku dan menyuruhku bangun. Aku membuka mata ku yang masih agak mengantuk. “Sudah mau landing, siap-siap, kalau ketiduran aku ga tanggung jawab yah kalau kamu sampai balik lagi ke Prancis.”  Aku tersenyum menanggapi gurauan Daniel.

          Kami berjalan menuruni tangga pesawat, dan Daniel masih dalam kesetiaan nya membawakan tas-tas kecilku. “Ya ampun, perasaan aku yang beli oleh-oleh, kenapa barang bawaannya banyakan kamu, jangan-jangan barang-barang hotel kamu bawa semua juga yah?” Daniel menggeleng-gelengkan kepalanya.

“ Yee, itu niat awalnya, tapi ga jadi aku lakuin kok.” Pertunjukan gigi kuning.

“Kamu pulang naik apa? Dijemput?”

“Ga. Naik taksi. Mama sama papa lagi ga sempat jemput.” Aku melihat-lihat ke arah jalan mencari taksi bandara.

“ Ya ampun, malam-malam begini bawa koper mau naik taksi. Nanti dikira kamu jutawan lho bawa barang satu supermarket gini, alias banyak banget. Ga aman. Yasudah, numpang aja sama aku, harga nego deh, borongan juga boleh, ke daerah mana?” Daniel menatap aku sambil mengedipkan matanya.

“Malah lebih takut kalau pulang sama kamu kali dibanding naik taksi. Kalau taksi masih ada no telpon pengaduannya, lha kalau kamu, mau ngadu kemana.”

          Daniel tampak meletakkan jari telunjuk ke arah bibirnya, dia sedang menelepon seseorang. Tidak berapa lama sebuah mobil sedan datang tepat di hadapanku, menghalangiku mencari taksi. “Pak, kalau mau parkir yang benar, ini mau cari taksi jadi kehalang.”

“Cari taksi apanya, ayo naik.” Daniel membuka pintu mobil, dan seorang bapak-bapak turun dari arah kemudi mobil. Daniel memasukkan tas-tas kecilku ke kursi belakang, bapak membuka pintu bagasi dan memasukkan koperku dan koper Daniel ke dalamnya. Aku tanpa bisa berpikir panjang, melangkah masuk ke dalam mobil. Daniel menutup pintuku, dan duduk di kursi depan.
“Ke arah mana?” Daniel menoleh ke arahku.

“Cilandak.” Jawabku singkat

          Bapak supir melajukan mobilnya ke daerah Cilandak, aku mulai menunjukkan jalan dan memberi komando berbelok. Beberapa belokan di komplek, dan akhirnya aku sampai di depan rumah. Aku memencet bel dari pagar, dan terlihat si mbok berlari kecil keluar rumah membawa kunci pagar.

“Ah sudah sampai de’, mbok khawatir banget kok jam segini belum sampai, tadi papa telepon nanyain, katanya di telepon hp nya ga aktif.”

“Ah iyah mbok, lupa nyalain hp pas turun dari mobil.” Setelah pagar terbuka, aku memeluk si mbok, kangen banget rasanya.

“Aku jalan pulang dulu yah, tagihan nya menyusul oke?” Daniel nyengir ke arahku

          Aku mengedipkan mata ke arah nya, dan melambai saat mobilnya mulai melaju. Lalu aku dan si mbok sibuk menjadi kuli dadakan, si mbok membawa koperku, dan aku membawa tas-tas kecilku.

          Aku langsung menyerbu ranjangku, aaahhh rasanya kangen sama wangi-bau- bantalku, selimutku, aku menggerak-gerakkan kakiku seperti sedang berenang. Rasanya berbeda sama ranjang hotel. Aku mengganti pakaian ku, dan mencuci wajah, menggosok gigi kuningku, dan terakhir naik ke ranjang. Aku menyalakan hp ku, dan membalas beberapa sms. Aku juga mengirimi sms ke papa, memberitahunya aku sudah sampai di rumah. Lalu aku tidur.


Ola..la part5



Beach oh Beach

          Ga kerasa, ini hari terakhir disini, hari bebas. Besok sudah harus ke airport, dan kembali ke kenyataan, jadi pengangguran.
         
          Karena hari bebas, Rendis ga dateng ke hotel. Aku juga belum tau mau kemana, masih tidur-tiduran aja di kamar. Masa iyah Daniel beneran cuma mau tidur dan berenang di hotel??? Aku membuka pintu kamar, dan melangkah maju mengetuk pintu kamar Daniel, tapi sampai pegal ngetuknya, ga ada jawaban. Mungkin dia sudah pergi keluar. Aku kembali masuk ke kamar, dan mandi. Baru mau buka keran shower, ada suara ketukan pintu keras banget, aku lansung keluar kamar mandi, dan bales teriak “ Siapa? Lagi mandi tau ga sih? Ganggu aja?” Pikirku kalaupun service room, pasti dia ga ngerti aku bicara apa. Baru mau ngelangkah masuk ke kamar mandi, ada teriakan ga mau kalah keras nya.

“Mana tau kamu lagi mandi, memangnya aku bisa lihat, kalau kamu kasih lihat baru aku tahu kamu lagi mandi. Mandi nya cepetan kalau mau ikut, lebih dari 5 menit aku tinggal, dan selamat bersenang-senang di hotel.”

Ya ampun, tetangga depan kamar yang sinting.

“Ok”

          Aku langsung buru-buru masuk kamar mandi, sikat gigi, cuci muka, ga pake mandi. Pakai baju, dan buka pintu kamar, jreng-jreng, dia lagi marah-marah di telepon. Niat awalnya, aku mau marah-marah protes ke dia, tapi kayanya cari aman aja, daripada ikutan kena dimarahin seperti yang ditelepon.

          Aku diam sepanjang jalan, kami naik taksi, entah kemana. Tapi sekitar satu jam kemudian, aku melihat sisi jalan ada pantai, “ Kita ke pantai Daniel?”

“Iyah.”

“Ya ampun, kenapa ga bilang, kan aku ga bawa baju renang.”

“Siapa yang mau ngasih kamu izin berenang.”

          Aku melotot tanpa kata-kata kali ini ke Daniel, kami berjalan ke arah pantai. Daniel menarik tangan ku ke sebuah toko, seperti toko peralatan olah raga air.

“cepetan pilih baju renangnya, aku tunggu di kasir.”

          Seperti orang bodoh, aku berjalan dan mencari baju renang yang kira-kira cocok dengan ukuran ku. Lalu aku berjalan ka arah kasir.

“Sini, biar aku yang bayar.”

“Ga perlu, aku bisa beli sendiri, lagian kan pasti gaji kamu sudah habis buat belanja wine.” Aku manatapnya tanpa ekspresi.

“ Ga apa-apa kan aku masih bisa nunggu gaji bulan depan, kalau kamu, ga tau kapan gajiannya.” Daniel nyengir ke arahku.

“Bener sih, tapi tetep aja, aku ga mau dibayarin sama kamu, kenal juga ga, pacar juga bukan, keluarga apalagi.” Aku tetep jaga gengsi, padahal aku tahu, baju renang disini mahal banget.

          Saat kasir memberitahu harganya, aku lupa kalau aku belum tukar uang. Untung otak cerdasku ingat, aku masih ada kartu kredit di dompet, aku kasih ke kasir, dan……..  maaf, kartu kredit anda tidak berlaku. Astaga, kartu kredit bank mana ini, ga bisa di pakai skala internasional.

“cela, utiliser ma carte.” Daniel menyerahkan sebuah kartu kredit ke arah kasir.

“Nanti aku ganti pakai rupiah.” Jawabku ketus.
         
          Kami bermain di pantai, Daniel terlihat berjemur di pantai, dan aku sudah pasti tidak mau melewatkan kesempatan berendam di pantai Prancis. Aku berenang hilir mudik, ke sana kemari, ke kanan dan ke kiri. Sudah agak sore dan Daniel menghampiri ku “ ayo pulang, sudah mau malam, aku masih harus berkemas untuk besok.” Daniel langsung melangkah menjauh dari pantai, otomatis kaki ku berlari mengejarnya, takut ditinggal.
          Sesampainya di depan pintu kamar, sebelum Daniel membuka pintu kamarnya, aku bertanya berapa harga baju renangnya dalam rupiah.

“Nanti saja, kalau kamu sudah dapat kerja, aku pasti tagih hutang kamu, tapi tidak sekarang.” Daniel langsung masuk ke dalam kamarnya.



Ola..la part4



Wine and Eiffel

Seperti biasa, kami sarapan bertiga dan keluar hotel menuju mobil hitam yang sudah menunggu. Asalce, tujuan hari ini, hanya satu tempat, menurut Rendis hari ini hanya satu tempat wisata karena jarak nya lumayan agak jauh. Aku melihat keluar jendela selama perjalanan, sibuk memanjakan mataku dengan arsitektur indah di sepanjang jalan. Dan Daniel, sibuk dengan hp ny. Sebentar-sebentar hp nya berbunyi, sebentar-sebentar juga dia marah-marah di telepon. Aneh, liburan kok menderita banget.

Laju mobil mulai melambat, dan aku melihat kini pemandangan gedung-gedung dengan arsitektur luar biasa telah berganti dengan deretan daun-daun rimbun. Perkebunan anggur yang luas terhampar di sepanjang sisi jalan. Mobil mulai memasuki area parkir, dan kami bertiga turun dari mobil. Sudah hampir tengah hari saat kami tiba. Rendis mengarahkan kami ke sebuah pondok, untuk beristirahat dan menikmati pemandangan. Beberapa saat kemudian, beberapa menu makanan dihidangkan di pondok kami.
         
Setelah makan siang, kami bertiga berjalan menyusuri perkebunan anggur. Rendis menjelaskan tentang pembuatan wine, dan berbagai jenisnya. Kaki nya melangkah menuju sebuah rumah – atau mungkin sebuah pabrik-, dan disana terlihat beberapa pekerja sedang memisahkan anggur-anggur dari keranjang. Melihat proses kerja mereka, dan sampai pada gudang penyimpanan nya. Daniel terlihat berbicara pada seseorang dan sesaat kemudian Daniel kembali dengan membawa 3 botol wine.

“Wauw, mau pesta kah nanti malam?” aku berseru kaget melihat bawaannya.

“Dari planet mana sih kamu? Dimana-mana jalan-jalan itu beli sesuatu buat oleh-oleh.” Daniel tersenyum penuh kemenangan ke arahku.

“Huh, itu nama nya menghambur-hamburkan uang. Lebih baik uang nya di tabung, atau buat jalan-jalan lagi tahun depan.” Celetukku tidak mau kalah

          Kami kembali ke kota, dan menuju hotel. Setelah makan malam bersama, Daniel menyerahkan sebotol wine kepada Rendis. “Curang, kok Rendis dapet?” aku melotot ke arah Daniel.

“ Rendis kan laki-laki, sudah dewasa. Nah kamu, mau minta? Memang bisa minum wine? Yang ada besok kamu bisa ga bangun seharian.” Daniel balas melotot ke arahku.

Aku mendengus dan berlari ke arah lift, meninggalkan Daniel dan Rendis yang cekikikan.

          Seperti hari-hari sebelumnya, kami sarapan bersama, tetapi kali ini berbeda, tidak ada mobil yang menunggu. “Lho, mana mobilnya?”

“Memang mau kemana neng naik mobil?”

Aku melirik jengkel ke arah Daniel, “yah mau jalan-jalan lah, memang nya mau ke rumah kamu.”

          Ternyata Rendis mengajak kami ke sebuah tempat yang sepanjang sisi jalan nya mengalir sungai dengan kapal untuk menyusuri sungai. Kami berjalan kaki, karena memang area ini untuk para pejalan kaki. Banyak kafe-kafe berderet di sepanjang jalan, kami menyusuri jalan, dan mampir ke sebuah kafe untuk makan siang, setelahnya kami naik ke sebuah kapal menyusuri sungai menuju arah pulang ke hotel. Masih sore ketika kami sampai di hotel, Rendis memang sengaja pulang sore ke hotel, karena setelah ini dia akan mengajak kami ke menara eifel. Aku bergegas menuju kamarku, mandi, dan berganti pakaian. Ketika aku turun ke lobi, Daniel dan Rendis sudah mulai melangkah ke arah mobil. Aku berlari-lari kecil mengejar mereka.

“Lama banget Ola…… untung belum ketinggalan.” Dengan muka paling juteknya Daniel melotot ke arahku.

“Yah nama nya juga cewe Daniel, kalau cepet itu nama nya kereta.”

          Akhirnya, sampai, seperti mimpi bisa melihat eifel dengan mata kepala sendiri, biasanya mbah gugel yang kasih lihat. Indah banget di malem hari, banyak orang, terutama yang berpasangan. Aku berfoto-foto –sampai khilaf-, sampai Rendis nyodorin kamera ke Daniel karena tangannya pegal. Alhasil, kalau sudah Daniel yang pegang kamera, pose terbaik yang harus ditampilin, karena kesempatan terbatas. Baru beberapa kali pose, Daniel sudah melotot  dan membuang muka.

“Kalau mau di foto, sini bayar jasa foto dulu.”

“Ih, mata duitan banget.”

“Lha, kan buat nabung jalan-jalan tahun depan, lumayan buat gantiin uang wine” Daniel nyengir kaya kuda.

“Ga usah deh, mending uang nya aku yang tabungin buat aku yang jalan-jalan.” Aku langsung narik kamera dari tangan Daniel, dan jalan ngejauh darinya. Kapan sih ga dibuat jengkel, kapan sih bicara nya bisa bikin orang lain seneng.


 

De_windows © 2008. Template Design By: SkinCorner