Sabtu, 11 Mei 2013

Ola..la part10



Daniel

          Daniel gelisah memandangi sebuah layar di ruang kerjanya. Sudah sejak masuk ke ruangan kerja nya, Daniel sesekali melihat ke arah layar itu. Di layar itu, memperlihatkan sebuah meja kerja seseorang. Yah, sejak hari pertama Daniel bertemu Ola di trotoar depan kantor, dan Ola bilang dia bekerja di bidang jurnalistik, Daniel langsung berpikir apakah mungkin Ola adalah salah satu karyawannya saat ini. Kemarin Daniel sudah mengecek daftar nama karyawan baru selama 3 bulan terakhir, dan nama Ola ada disana, Yolla Yulista. Nama yang pertama kali dia dengar saat keberangkatannya ke Prancis. Daniel mencocokan alamat nya, dan dia yakin itu Ola. Ola yang selama ini dia rindukan, Ola  yang selama ini fotonya menjadi wallpaper laptop dan handphone nya.

          Saat sudah memastikan Ola keluar kantor kemarin, Daniel langsung memerintahkan staff IT nya memasang sebuah kamera cctv yang menyorot meja kerja Ola, dan kini layar monitor itu terus menyita perhatian Daniel.

          Selama ini Daniel terus memikirkan Ola, semenjak perpisahan mereka saat mengantar Ola ke rumahnya sepulang dari Prancis, Daniel terus-menerus berharap bertemu Ola lagi. Rasa rindu nya selalu bersaing dengan rasa takutnya. Rasa takut akan kekecewaan yang pernah di alami nya.

          Berkali-kali Daniel berusaha melupakan Ola, bahakan ia memutuskan mengurus bisnis nya di Singapore agar dia bisa melupakan Ola. Tiga bulan, Daniel rasa cukup untuk meninggalkan pekerjaan nya di Jakarta, dan kini saat ia ingin menghapus Ola dari pikirannya, wanita itu datang berada tepat di depan matanya, di sekitarnya.
         
          Kini Daniel bisa melihat Ola setiap hari melalui cctv, tapi hari ini, hari pertama Daniel seharusnya memndang Ola seharian, Daniel malah mendapati meja kerja Ola kosong.

Tookk,,,took,,

“Masuk.”

“Kak Daniel, aku senang aku sudah pulang dari Singapore.”
“Ah, iyah, baru 2 hari Danita, aku baru mengecek beberapa pekerjaan, bagaimana selama 3 bulan ini?”

‘Aku pikir kau akan merindukan aku karena 3 bulan tidak bertemu, atau paling tidak kau akan mengajak aku makan malam karena sudah merepotkan ku selama 3 bulan ini.”

“Maafkan aku Nita, keputusan yang mendadak.”
Daniel kembali melihat ke arah layar perekam cctv.

“Oh, jadi mulai memata-matai staff editor??” Danita tersenyum ke arah kakak nya, menyadari apa yang sedang dilihat oleh kakaknya.

“Kau harus menunggu sampai sekitar jam istirahat, dan kau bisa melihat apa yang ingin kau lihat.” Danita mengedipkan sebelah mata nya.

“Ya ampun Nita, kau yang merencanakan nya?”

“Kau terlalu lambat kak.”
Danita mulai berjalan ke arah sofa, yang akhirnya diikuti oleh Daniel.

“Sejak kau pulang dari Prancis, aku tahu ada sesuatu yang berbeda. Tanpa sengaja aku melihat foto seorang wanita di laptop mu, tidak biasanya. Aku mencari tahu, dan ternyata itu adalah Yolla Yulista, pemenang liburan yang sama denganmu. Awalnya aku pikir kau hanya jatuh cinta sesaat, seperti yang sudah-sudah. Tetapi keputusanmu ke Singapore meyakinkanku, kau bermasalah kak.”

“Aku memang ke Singapore untuk membuang perasaan ini.” Daniel menunduk menunjukkan ekspresi dingin nya.

“Kak, mungkin seorang wanita memang bisa menyakiti seorang pria, tetapi tidak semua wanita. Biarkan Cecil menjadi masa lalu mu, dan jangan biarkan dia merusak masa depanmu.”

“Nita, rasanya sangat  sulit.”

“Kau harus bisa melupakan rasa itu kak. Ola cukup baik, aku membuatnya melalui masa percobaan selama 3 bulan, sekaligus membuatnya lolos sebagai calon pasanganmu. Kau pikir Ola melamar kerja disini? Aku yang mengkondisikan nya, aku gak mungkin membiarkan kakakku jatuh cinta pada orang yang salah. Aku membayar seseorang dikampus Ola yang akhirnya membuat surat lamaran kerja Ola terkirim ke sini. Aku membawahinya secara langsung, menempatkannya di divisiku, dan terus memantau kepribadiannya baik di kantor maupun di kampus.Dia baik.”

“Nita, apa yang kau lakukan. Kau bermaksud sengaja menghadirkannya dalam hidupku?”

“Dia hadir sendiri dalam hidupmu kak. Aku hanya menilai nya, dan bila dia tidak lolos dalam penilaianku, mungkin aku akan memecatnya setelah 3 bulan masa percobaan, dan kau tidak akan bertemu dengannya di kantor ini.”

“Tetap rahasiakan keberadaanku di perusahaan ini, dia hanya tau aku adalah seorang pegawai biasa, dan aku lebih suka seperti itu.”

“Terserah padamu, aku hanya akan membantu bila diminta, sementara itu aku rasa peranku sudah cukup sampai disini, sisanya silahkan kakak berjuang sendiri.”

Danita melangkah keluar ruangan CEO Dan’s Adv, Daniel kakaknya, orang yang paling disayanginya, semenjak orang tua mereka meninggal, Daniel yang merawat dan menjaganya. Kini Danita pun ingin melihat kakaknya bahagia.






Ola..la part8



Seseorang Bernama Danita

“Ola, ke ruangan saya sebentar.”

Bu Danita menelepon ke line meja kerjaku, ini hari pertama aku masuk kerja, aku masih membereskan beberapa perlengkapanku, dan baru saja menyalakan monitor di mejaku setelah sebelumnya aku berkenalan dengan seluruh staff di lantai 4.

“Iyah bu.”

Aku berjalan menuju sebuah ruangan yang tidak terlalu juah dari meja kerjaku, Danita adalah kepala bagian editor di kantor ini, usia nya ternyata sudah 27 tahun, sekitar 5 tahun lebih tua dari usiaku, tetapi penampilannya sangat muda dan energik.
Aku membuka handel pintu, dan masuk ke ruangan yang di dominasi walpaper bernuansa cream bermotif bunga-bunga kecil, sebuah meja kerja yang besar dan dipenuhi dengan beberapa tumpukan kertas dilengkapi sebuah kursi besar yang bisa menutupi seluruh punggung sampai kepala kita.
Ada sofa berbentuk huruf L berwarna coklat yang sangat serasi dengan wallpaper ruangan ini, dan bu Danita terlihat sedang duduk disana sambil menikmati secangkir kopi pagi nya.

“Duduk disini Ola.”
“Iyah bu.”
Aku mengambil posisi duduk di bagian sofa yang terdekat dengan pintu.

“Sekali lagi, selamat bergabung dengan Dan’s. Dan saya adalah kepala editor di sini, jadi secara struktur kamu adalah staff saya. Bila ada masalah apapun berkaitan dengan pekerjaanmu, kamu bisa langsung menghubungi saya. Minta nomor handphone saya di resepsionis.”

“Baik bu.”

“Satu lagi, kita memang bekerja disini selama 8 jam, tetapi kita akan bekerja seperti 24 jam. Kamu harus siap jika tiba-tiba ada deadline mendadak, atau editan yang harus selesai secepatnya. Handphone kamu sebaiknya aktif 24 jam, dan terhubung langsung email. Kamu akan dapat fasilitas kantor, sebuah handphone dan laptop yang memang digunakan oleh seluruh staff editor, jadi bila deadline atau kebutuhan mendadak, semua bisa siap segera dan kirim melalui email. “

“Baik bu.”

“Kemudian, lantai 4 ini memang merupakan bagian divisi editor. Lantai 3 merupakan bagian divisi HRD semua absen dan informasi karyawan ada dilantai 3. Lantai 5 dan 6 adalah marketing dan keuangan. Lantai 7 dan 8 ruang arsip, ruang meeting, dan ada divisi pelatihan dan IT. Lantai 9 adalah untuk para petinggi perusahaan. Kamu diizinkan hanya sampai lantai 6. Bila ada kebutuhan untuk IT kamu bisa menggunakan line telepon, karena mereka yang akan turun. Ruang arsip tidak bisa diakses oleh semua staff, hanya beberapa saja yang diberi wewenang.”

“Baik bu.”

“ Baiklah, kamu bisa kembali bekerja.”

“Baik bu, terima kasih atas semua informasi dan kesempatannya, saya akan  berusaha sebaik mungkin untuk perusahaan ini.”
Aku tersenyum ke arah bu Danita, dan berdiri untuk keluar ruangan.

“Ola, kamu bisa panggil saya dengan kakak saja..”
Aku kembali tersenyum dan mengangguk ke arah ka’Danita. Lalu aku melangkah membuka pintu dan kembali menuju meja kerjaku.

“Ola, k’Danita bicara apa saja?”

“Hanya menjelaskan tentang hp dan laptop, dan pembagian tiap divisi di tiap lantai.”

“Oh… Oh iyah, Ola kamu akan jadi editor di bagian cerita pembaca. Thomas akan mengajari kamu caranya.” Ellen mengedipkan sebelah matanya ke arahku.

“Ellen!!”
“Hahaha, aku gak lagi bercanda Ola… Thomas yang akan mentorin kamu sampai kamu bisa mengerjakan nya sendiri. Mungkin dia yang mengajukan diri ke k’Danita.”
Aku memutar bola mataku, dan memasang wajah cemberut ke arah Ellen. Ellen adalah orang yang paling dekat denganku sejak aku datang ke kantor ini pagi tadi. Kebetulan sekali dia duduk di sebelahku, dan kami hanya dibatasi sekat diantara monitor kami. Untunglah Ellen sangat ceria dan membuat aku nyaman sejak pertama dia menyapa aku.
Sedangkan Thomas, staff yang meja kerja nya ada di seberang meja kerjaku. Ellen bilang, Thomas selalu melihat ke arahku, aku sendiri tidak terlalu memperhatikannya.
______________###

Tasya meneleponku, dan aku masih di kantor. Kebetulan hari ini aku tidak ada mata kuliah. Tasya berbicara seperti kereta api, tidak ada rem nya. Dia sangat penasaran dengan kesan hari pertamaku. Aku menceritakan semua tentang Ellen, Thomas, dan k’Danita. Tidak terasa kami ngobrol cukup lama, sampai aku lupa waktu, dan Ellen sudah menepuk pundakku dan menunjuk ke arah jam tangannya. Lalu dia melambai dan berjalan ke arah lift.

“Tasya, aku harus beres-beres meja kerjaku, ternyata sudah jam pulang. Besok aku lanjutin ceritanya di kampus yah.”

“Oke, see you Ola.”

Aku membereskan tasku dan berjalan ke arah lift. Saat melewati ruang k’Danita, pintu ruangannya sedang terbuka, dan dia melihat aku berjalan ke arah lift. Dia melambaikan tangan nya ke arah ku yang mengisyaratkan agar aku masuk ke ruangannya. Kali ini aku duduk di kursi yang menghadap meja kerja k’Danita.

“Ola, kamu masih kuliah, boleh saya tau hari apa saja kamu akan terlambat?”

“Saya sudah memindah beberapa mata kuliah ke hari Sabtu, jadi saya hanya akan datang agak siang di hari Selasa dan Rabu.”

“Baiklah, ini penting untuk menilai kerja kamu selama masa percobaan, berarti izin atau telat dihari lainnya sebaiknya memberi kabar. Sementara ini kamu yang akan menghandle kolom cerita pembaca, dan Thomas akan mementori kamu.”
“K’, sebenarnya pekerjaan apapun yang dipercayakan kepada saya, pasti saya akan kerjakan sebaik mungkin. Hanya saja, untuk mentor apakah bisa Ellen yang mementori saya?”

“Kenapa Ellen?”

 “Dari beberapa aspek, saya lebih nyaman dengan Ellen, kemudian meja kerja kami berdekatan, jadi saya bisa lebih intens bertanya dan secepatnya menghandle sendiri agar tidak terlalu mengganggu pekerjaan staff lain.”

“Akan saya pertimbangkan Ola, apakah kamu merasa kurang nyaman karena Thomas adalah laki-laki?”

“Bukan faktor utama, tetapi termasuk dalam salah satu alasan.”

“Oh, kamu sudah punya pasangan?”

“Menikah belum, pacar juga belum ada k’.” Aku tersenyum saat menjawab nya, karena aku jadi harus mengingat kapan terakhir kali aku punya pacar.

“Sedang dekat dengan seseorang?”

“Tidak ada yang special, hanya beberapa teman kuliah.”

“Oke, baiklah, sepertinya kamu akan pulang malam kalau saya terus bertanya.”

“Kalau begitu saya izin pulang k’.
Aku keluar dari gedung dan menyetop sebuah angkutan umum.
_________###

Kak, Danita gak akan izinin wanita yang gak pantas untuk kakak, tetapi Danita akan terus berusaha untuk membuka hati kakak agar kakak bisa merasakan kebahagiaan.






Ola..la part9



Meet You Again

          Aku semakin sering berhadapan dengan laptopku, ini sudah masuk bulan ke tiga, dan bulan ini adalah akhir masa percobaanku. Keputusan aku akan terus bekerja di sini atau tidak, akan segera aku terima. Saat ini aku sedang melakukan seleksi cerita yang akan aku masukkan ke kolom cerita pembaca. Bulan kedua kerjaku, Ellen sudah meyakinkan bahwa aku sudah sanggup melakukan pekerjaan ku sendiri, hanya terkadang aku masih meminta pendapat Ellen tentang cerita yang aku pilih dan akan aku serahkan ke k’Danita.
         
Pada awal-awalnya aku harus mengedit sebuah cerita sampai beberapa kali sampai akhirnya disetujui. Tetapi sudah sejak 2 minggu ini, aku hanya mengedit sekali dan sekali untuk koreksi. Aku seperti menemukan kenikmatan pekerjaan ini, walau kadang aku masih harus berduaan dengan laptopku sampai subuh. Ellen selalu meyakinkan, aku akan terbiasa dan akan bisa bekerja lebih cepat, Ellen sudah hampir 7 tahun di perusahaan ini, dan dia bilang tahun pertamanya selalu membuatnya bergadang, tetapi setelah terbiasa dia bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat sebelum makan malam.

We are never ever getting back…

“Hallo.”

“Hallo Ola, hari ini kamu ke kantor kan?”

“Iyah k’, ini masih di kampus, tapi sebentar lagi Ola mau ke kantor, tulisan untuk minggu ini udah siap, tinggal k’Nita cek aja.”

“Yaudah k’ Nita tunggu di kantor yah.”

            Aku segera membereskan beberapa buku dan laptopku, baru saja mau keluar dari perpustakaan, ada Dony dan Tasya di dekat pintu perpustakaan.

“Ola, hei, susah banget mau ketemu aja. Kebetulan nih, weekend ini mau ikut ke Bandung gak?”

“Ngapain Don?”

“Refreshing aja, bisa gak?”

“Duh, sorry Don, kayanya absen dulu deh, kerjaan masih banyak. Lagian Sabtu banyak kelas.”

            Dony menepuk pundakku, “Iyah ngerti, tapi kamu juga butuh istirahat. Kalau nanti ngerasa butuh udara segar, kasih tau aku.Ok?”
Aku mengangguk kearah Dony dan tersenyum pada Tasya. “Iyah Ola, kalau butuh liburan bilang aja ke aku dan Dony, pasti kita temenin. Udah lama gak hangout bareng kamu.”
“Pasti Tasya, memang aku bisa cari siapa lagi buat nemenin. Makasih yah selama ini udah ngasih update’an tugas-tugas. Tapi aku harus pulang duluan nih, ditungguin di kantor.”
Aku memeluk Tasya, dan melambai ke arah Dony.

          Setengah jam kemudian aku sudah tiba di kantor, jalanan di Jakarta jam segini agak sepi, jadi gak perlu hadir dalam vestifal macet Jakarta yang selalu hadir setiap pagi dan sore. Aku langsung menuju meja kerja ku, menyalakan laptop dan monitor, ada beberapa file yang harus aku transfer.

“Ola, kamu udah terima surat keputusan nya belum?”

“Belum Ellen, tapi seharusnya hari ini. Semoga aja yah diterima jadi karyawan.”

“Aku dukung banget, tulisan hasil editan kamu selama ini cukup memuaskan, untuk yang baru 3 bulan sih termasuk bagus.”

“Makasih, ini juga kan karena kamu yang mentorin aku dan ngasih banyak saran.” Aku mengedipkan sebelah mataku ke arah Ellen.

          Aku terus menyelesaikan tulisanku, untuk edisi berikutnya. Ruang kantor sudah agak sepi, Ellen sudah pulang dari satu jam yang lalu, aku memang akan lembur karena aku datang siang tadi. Hanya ada beberapa staff yang sedang mengetik, dan beberapa yang sedang menikmati kopi karena diluar sedang hujan.

          Kring…kring..

“Hallo.”

“Halo Ola, kamu belum pulangkan?”
“Belum k”

“Ke ruangan saya sekarang.”

“Baik.”
         
          Aku menutup telepon dan berjalan ke arah ruangan k’Danita.
“masuk Ola.”

“Iyah k, ini Ola sekalian mau kasih tulisan edisi minggu ini.”

“Ola, terima kasih untuk hasil kerja kamu selama ini, semua nya cukup bagus, walau kamu masih harus belajar banyak. K’Nita sudah bicara ke pak’direktur dan kamu sudah ditetapkan akan menjadi karyawan disini. Ini surat pengangkatannya.”

Aku tersenyum dan mengambil sebuah amplop putih yang diserahkan k’Nita, k’Nita menyalamiku dan mengucapkan selamat, aku hanya bisa mengatakan terima kasih untuk memberitahu betapa aku sangat senang dan berterima kasih pada k’Nita yang sudah sangat baik menjadi atasanku.

Aku kembali ke meja kerjaku, aku ingin sekali menelepon Dony dan berteriak dengan keras, aku jadi karyawan Dan’s Adv. Ketika aku merogoh tas dan mendapatkan handphoneku, ternyata hp ku mati. Aku lupa sekali mengecek hp ku tadi. Sekarang sudah hampir jam 9 malam, dan aku harus bergegas pulang. Kulihat dari jendela, di luar masih gerimis.

Aku berjalan keluar gedung, rintik-rintik gerimis membasahi rambutku, aku lupa membawa payung. Aku berdiri di trotoar tempat biasa aku menunggu angkutan umum. Beberapa motor lewat dekat trotoar menyebabkan beberapa cipratan air kearah celana  panjangku. Tidak lama kemudia, sebuah motor merah melaju melewati sebuah genangan air yang tidak terlalu jauh dariku, membuat air itu mengenai bagian kemejaku, aku spontan berteriak ke arah motor itu yang sesaat melaju di depanku. Ku pandangi motor itu yang makin lama semakin melambat. Dia menoleh ke arah ku dan membuka kaca helm nya.
“Tunggu di situ.”

          Aku bingung mendengar perkataannya. Apa ini, sekarang dia yang mau ke sini, memangnya aku salah karena berteriak? Jelas-jelas dia yang salah naik motor ngebut di genangan air. Aku marah tapi juga takut, bagaimana kalau dia lebih galak? Bagaimana kalau dia marah? Sibuk dengan pikiranku sendiri, tanpa sadar motor itu sudah ada di depanku.

“Maaf, kalau anda marah karena saya berteriak, tetapi anda duluan yang…”
Dia membuka helmnya, dan….. aku rasa aku kenal siapa orang ini.

“Hai, gak nyangka bisa ketemu disini.”
Daniel, benar Daniel. Wajahnya sama persis, hanya rambut nya saja lebih pendek.
Aku tersenyum jengkel. “Gak nyangka juga, lihat nih gara-gara kamu baju aku basah.” Aku menunjuk ke arah kemejaku yang basah.

“Yah, gak sengaja, lagian ngapaian kamu malam-malam disini??”

“Menurut kamu? Pulang kerja lah.”

“Oh, sudah dapat kerja?? Berarti sudah bisa bayar hutang yah? Kamu pulang kerja jam segini? Kerja apa dimana?”

“Ih, mau tau aja. Nanti aku bayar hutang nya, berapa no rekening kamu? Cepetan sebelum angkutan umum nya datang nih.”

“Ya ampun, kamu disini mau naik angkutan umum? Malam-malam begini sendirian? Gak pernah liat berita yah? Bahaya tau.”

“Taulah, aku kan kerja di bidang jurnalistik, pasti aku update berita. Tapi kamu pikir aku mau naik apa lagi? Naik taksi? Bisa-bisa gaji aku sebulan habis cuma buat bayar argo taksi.” Aku memutar bola mataku dan kembali menoleh ke arah jalan, mencari angkutan umum yang mungkin akan lewat.

“Naik motor aku aja, bahaya pulang malam gini naik angkutan umum.”
Daniel menepuk-nepuk jok motornya mempersilahkan aku naik. Aku tergoda untuk naik, lumayan naik motor daripada nunggu angkutan umum yang dari tadi gak kelihatan.

“Tapi kamu gak lebih bahaya dari angkutan umum kan?”

“Eh, aku pernah ngantar kamu sampai rumah, dan selamatkan?”

“Tapi itu naik mobil, dan bukan kamu yang nyetir.”

“Yaudah kalau lebih percaya sama angkutan umum. Jangan menyesal yah.”
Daniel mulai menstarter motornya dan memakai helm nya.

“Eh, eh, tunggu. Aku kan gak bilang gak mau ikut, cuma nanya sih kamu sama angkutan umum lebih bahaya mana?”
“Itu bukan nanya, bikin sakit hati tau.”

“Ih, masih punya hati yah.”

“Cepet naik, atau aku tinggal nih.”

“Iyah, iyah, sabar.”

Aku mulai berjalan dan naik ke motor Daniel. Tiba-tiba saja Daniel memegang tanganku, aku hendak melepaskan tanganku dari pegangannya.

“Pegangan di pinggangku, atau kamu bisa jatuh, gak boleh banyak protes.”

“Iyah, iyah, aku bisa sendiri, gak perlu di pegangin.”

          Aku memegang jaket Daniel di sisi kanan dan kiri pinggang nya. Lalu Daniel mulai melaju, awalnya aku merasa baik-baik saja, kecuali udara yang benar-benar membuat aku menggigil. Lama-lama tanganku gemetar, dan sepertinya Daniel merasakan tangan gemetarku. Dia mulai melaju melambat dan akhirnya berhenti. Aku menggigit bibir bawahku dan tidak sanggup berkata-kata.

“Kenapa gak bilang kalau kedinginan?”
Daniel membuka jaketnya dan menyerahkannya kepadaku.

“Pakai jaket aku aja. Cepat. Aku gak mau kamu pingsan di motor aku terus di lihat polisi, nanti dikiranya aku ngapain kamu.”

          Aku tidak menjawab apapun, menggigil membuat lidahku keluh. Aku memakai jaket Daniel. Daniel memperhatikanku memakai jaket nya, setelah yakin aku lebih baik, Daniel mulai menyalakan mesin motor nya. Aku merasakan lagi tangan Daniel mengarahkan tanganku ke pinggang nya. Awalnya aku memegang baju nya, tetapi ketika Daniel melaju, dia melaju dengan sangat cepat. Membuatku terkejut dan reflek memeluknya.

“Susah banget dibilanginnya.”
Aku hanya diam mendengar Daniel bicara setengah kesal. Setelah beberapa menit aku merasa cukup hangat dan bisa untuk bicara.

“Kamu gak kedinginan?”

“Gak, selama pelukannya gak dilepas.”

Aku tersenyum malu menyadari aku begitu erat memeluk Daniel saat menggigil tadi.

“Huh, mau nya, ingat yah ini cuma karena tadi aku menggigil. Jangan mikir yang aneh-aneh.” Aku mulai melepas pelukanku.

          Tidak lama kemudian, Daniel sudah masuk ke dalam komplek rumahku, dan dia berbelok ke arah rumahku, tanpa bertanya kepadaku.

“Masih ingat yah jalannya?”
Daniel hanya mengangguk.

          Sampai di depan rumah, aku turun dari motor, dan melepaskan jaket Daniel. “Terima kasih yah.” Aku menyerahkan jaket ke arah Daniel.

“Sama-sama. Mana handphone kamu?”

“Handphone ku mati. Untuk apa?”

“Aku perlu, yaudah besok tunggu aku di tempat tadi yah jam 8. Dan handphone harus aktif.”

          Sebelum pertanyaan selanjutnya berhasil meluncur dari mulutku, Daniel sudah melajukan motornya. Aku hanya bisa menghela napas. Aku berjalan masuk ke dalam rumah. Sejak kerja di Dan’s aku memegang semua kunci duplikat rumah, karena jam pulangku tidak menentu dan aku tidak tega kalau harus membangunkan mbok.

_________________________###

          Seperti yang direncanakan, aku meninggalkan kantor jam 8 malam kurang 10 menit. Lalu aku berjalan keluar gedung dan berdiri di trotoar tempat kemarin aku bertemu Daniel. Tidak lama kemudian, sebuah motor besar berwarna merah menghampiriku. Daniel menyerahkan sebuah helm kepadaku. Aku sudah memakai jaket karena aku tidak mau menggigil lagi.

“Kamu belum makan kan?”
Aku menggeleng.

“Yaudah, cepet naik, kita makan dulu yah, baru aku antar kamu pulang.”
Aku mengangguk.

“Kenapa hari ini pakai jaket?”

“Yah, karena gak mau menggigil lagi.”

“Aku suka kalau kamu menggigil.”

“Kamu bukan suka aku menggigilnya, tapi kelakuan saat aku menggigilkan?”
Aku menyubit paha Daniel. Membuatnya meringis kesakitan.

          Daniel mengarahkan motor nya ke sebuah resto sederhana, tetapi sepertinya cukup ramai. Aku baru pertama ke resto ini, sebenarnya aku jarang sekali makan diluar. Mbok selalu menyiapkan makanan di rumah.

“Yuk turun.”

“Kamu sering kesini? Sepertinya ramai.”

“Kadang-kadang, iyah makanan nya lumayan dan harga nya terjangkau. Jadi lumayan buat hemat sampai kamu bayar hutang kamu.”

“Ya ampun, memangnya aku hutang berapa sih? Ditagih nya terus-terusan?? Kamu kan masih ingat jalan ke rumah aku, kenapa ga datang ke rumah dan minta bayar?”

“Aku kan gak tau kamu udah dapat kerja?”

          Daniel memang gak tau perkembangan Ola selama ini, karena sudah 3 bulan belakangan dia ada di Singapore untuk urusan bisnisnya. Mereka memasuki resto dan Daniel menunjuk sebuah meja di sudut ruangan mengarahkan agar Ola berjalan kesana sementara dia memesan makanan.

“Aku yang pesan yah, nasi goreng kamu suka?”

“Yah boleh, tapi ini masuk tambahan hutang aku gak?”

Daniel tertawa melihat wajah cemberutnya Ola. “Gak, baju renang nya juga bisa dianggap gratis, asal….. temenin aku makan malam setiap hari.”

Aku mencubit punggung tangan Daniel, dan membuatnya meringis kesakitan.

“Ya ampun, suka banget nyubit.”

“Makanya, jangan aneh-aneh. Memang kenapa juga harus nemenin kamu makan malam terus? Aku juga sibuk, ada kerjaan.”

“Oh, kan cuma nawarin aja. Kalau gak mau juga gapapa, tapi jangan pake nyubit.”

          Untung pelayannya datang mengantar minuman sebelum aku semakin mengeluarkan kata-kata menyebalkan untuk Daniel. Aku minum untuk menenangkan perasaanku, yang entah kenapa selalu berbeda bila dekat dengan Daniel, tapi perasaan itu selalu membuat aku mudah sekali ceplas-ceplos bila bicara ke Daniel. Dia selalu bisa merespon ucapanku dengan menyenangkan.

          Selesai makan, Daniel langsung mengantar aku pulang ke rumah. Seperti biasa, dia melaju dengan sangat cepat, sepertinya dia punya cita-cita menjadi pembalap. Aku jadi harus memegang pinggangnya. Sampai di depan rumah, aku turun dari motor dan ketika tanganku menyerahkan helm ke arah Daniel, tangan Daniel menarik tanganku, sehingga aku reflek maju beberapa langkah agar tidak terjatuh. Daniel membuka helm nya, menarik helm ku dengan tangan kanan nya, dan tangan kirinya menarik pinggang ku untuk melangkah lebih dekat ke arah nya.

“Daniel.”
“Ehm.”
Aku memanggil nama nya saat bibir Daniel menyentuh bibirku, awalny lembut, tapi Daniel seperti sudah lama menahan nya, dia semakin dalam mencium ku, disaat aku menggerakkan tanganku untuk menjauhkannya, dia semakin erat memeluk pinggangku. Aku tidak melakukan perlawanan atas ciuman Daniel, aku merasa nyaman dengan cara Daniel, dan membiarkannya melakukannya. Sampai kemudian Daniel bernapas terengah-engah, begitu juga denganku. Dia melepaskan ciuman nya, dan mendaratkan kecupan di keningku.

“Maaf Ola, aku gak bisa menahannya.”

“Daniel, aku gak tau harus marah ke kamu seperti apa.”

“Ola, jangan marah yah. Dan jangan ngejauh dari aku.”

“Anggap saja ini gak pernah terjadi yah Daniel, mungkin kamu sedang kedinginan, dan tidak sadar.”

Daniel menggenggam jemariku, “ Ola, maafin aku. Tapi aku sadar melakukannya. Jangan pernah biarin orang lain melakukan itu ke kamu yah selain aku.”

“Kenapa kamu boleh Daniel?”

“Karena kamu mengizinkan aku Ola” Sebelum aku membalas kata-kata Daniel, Daniel sudah mulai menciumku lagi, kali ini lebih lembut.

“Daniel, nanti bisa dilihat tetangga. Sudah kamu pulang sana. Terima kasih sudah mengantar aku. Ini handphone ku, kemarin kamu minta kan?”

“Oh iyah, hampir lupa. Sini.”
Daniel mengambil hp ku, dan menekan beberapa tombol, dan kemudian sebuah dering berbunyi. Daniel menelepon ke hp nya.

“Nah, ini no aku. Kalau ada apa-apa hubungi aku. Kalau pulang malam juga minta aku jemput aja. Ini no kamu, nah kalau aku butuh uang, aku telepon kamu yah.” Daniel tersenyum lalu mengedipkan sebelah mata nya.

          Aku berjalan masuk ke rumah, dan kemudian aku mendengar suara mesin motor Daniel yang makin lama makin menjauh. Aku masih belum bisa mengerti, kenapa aku membiarkan Daniel menciumku, dan aku tidak memarahinya sama sekali. Aku malah merasakan sesuatu yang aneh.
______________________###


 

De_windows © 2008. Template Design By: SkinCorner