Sabtu, 11 Mei 2013

Ola..la part9



Meet You Again

          Aku semakin sering berhadapan dengan laptopku, ini sudah masuk bulan ke tiga, dan bulan ini adalah akhir masa percobaanku. Keputusan aku akan terus bekerja di sini atau tidak, akan segera aku terima. Saat ini aku sedang melakukan seleksi cerita yang akan aku masukkan ke kolom cerita pembaca. Bulan kedua kerjaku, Ellen sudah meyakinkan bahwa aku sudah sanggup melakukan pekerjaan ku sendiri, hanya terkadang aku masih meminta pendapat Ellen tentang cerita yang aku pilih dan akan aku serahkan ke k’Danita.
         
Pada awal-awalnya aku harus mengedit sebuah cerita sampai beberapa kali sampai akhirnya disetujui. Tetapi sudah sejak 2 minggu ini, aku hanya mengedit sekali dan sekali untuk koreksi. Aku seperti menemukan kenikmatan pekerjaan ini, walau kadang aku masih harus berduaan dengan laptopku sampai subuh. Ellen selalu meyakinkan, aku akan terbiasa dan akan bisa bekerja lebih cepat, Ellen sudah hampir 7 tahun di perusahaan ini, dan dia bilang tahun pertamanya selalu membuatnya bergadang, tetapi setelah terbiasa dia bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat sebelum makan malam.

We are never ever getting back…

“Hallo.”

“Hallo Ola, hari ini kamu ke kantor kan?”

“Iyah k’, ini masih di kampus, tapi sebentar lagi Ola mau ke kantor, tulisan untuk minggu ini udah siap, tinggal k’Nita cek aja.”

“Yaudah k’ Nita tunggu di kantor yah.”

            Aku segera membereskan beberapa buku dan laptopku, baru saja mau keluar dari perpustakaan, ada Dony dan Tasya di dekat pintu perpustakaan.

“Ola, hei, susah banget mau ketemu aja. Kebetulan nih, weekend ini mau ikut ke Bandung gak?”

“Ngapain Don?”

“Refreshing aja, bisa gak?”

“Duh, sorry Don, kayanya absen dulu deh, kerjaan masih banyak. Lagian Sabtu banyak kelas.”

            Dony menepuk pundakku, “Iyah ngerti, tapi kamu juga butuh istirahat. Kalau nanti ngerasa butuh udara segar, kasih tau aku.Ok?”
Aku mengangguk kearah Dony dan tersenyum pada Tasya. “Iyah Ola, kalau butuh liburan bilang aja ke aku dan Dony, pasti kita temenin. Udah lama gak hangout bareng kamu.”
“Pasti Tasya, memang aku bisa cari siapa lagi buat nemenin. Makasih yah selama ini udah ngasih update’an tugas-tugas. Tapi aku harus pulang duluan nih, ditungguin di kantor.”
Aku memeluk Tasya, dan melambai ke arah Dony.

          Setengah jam kemudian aku sudah tiba di kantor, jalanan di Jakarta jam segini agak sepi, jadi gak perlu hadir dalam vestifal macet Jakarta yang selalu hadir setiap pagi dan sore. Aku langsung menuju meja kerja ku, menyalakan laptop dan monitor, ada beberapa file yang harus aku transfer.

“Ola, kamu udah terima surat keputusan nya belum?”

“Belum Ellen, tapi seharusnya hari ini. Semoga aja yah diterima jadi karyawan.”

“Aku dukung banget, tulisan hasil editan kamu selama ini cukup memuaskan, untuk yang baru 3 bulan sih termasuk bagus.”

“Makasih, ini juga kan karena kamu yang mentorin aku dan ngasih banyak saran.” Aku mengedipkan sebelah mataku ke arah Ellen.

          Aku terus menyelesaikan tulisanku, untuk edisi berikutnya. Ruang kantor sudah agak sepi, Ellen sudah pulang dari satu jam yang lalu, aku memang akan lembur karena aku datang siang tadi. Hanya ada beberapa staff yang sedang mengetik, dan beberapa yang sedang menikmati kopi karena diluar sedang hujan.

          Kring…kring..

“Hallo.”

“Halo Ola, kamu belum pulangkan?”
“Belum k”

“Ke ruangan saya sekarang.”

“Baik.”
         
          Aku menutup telepon dan berjalan ke arah ruangan k’Danita.
“masuk Ola.”

“Iyah k, ini Ola sekalian mau kasih tulisan edisi minggu ini.”

“Ola, terima kasih untuk hasil kerja kamu selama ini, semua nya cukup bagus, walau kamu masih harus belajar banyak. K’Nita sudah bicara ke pak’direktur dan kamu sudah ditetapkan akan menjadi karyawan disini. Ini surat pengangkatannya.”

Aku tersenyum dan mengambil sebuah amplop putih yang diserahkan k’Nita, k’Nita menyalamiku dan mengucapkan selamat, aku hanya bisa mengatakan terima kasih untuk memberitahu betapa aku sangat senang dan berterima kasih pada k’Nita yang sudah sangat baik menjadi atasanku.

Aku kembali ke meja kerjaku, aku ingin sekali menelepon Dony dan berteriak dengan keras, aku jadi karyawan Dan’s Adv. Ketika aku merogoh tas dan mendapatkan handphoneku, ternyata hp ku mati. Aku lupa sekali mengecek hp ku tadi. Sekarang sudah hampir jam 9 malam, dan aku harus bergegas pulang. Kulihat dari jendela, di luar masih gerimis.

Aku berjalan keluar gedung, rintik-rintik gerimis membasahi rambutku, aku lupa membawa payung. Aku berdiri di trotoar tempat biasa aku menunggu angkutan umum. Beberapa motor lewat dekat trotoar menyebabkan beberapa cipratan air kearah celana  panjangku. Tidak lama kemudia, sebuah motor merah melaju melewati sebuah genangan air yang tidak terlalu jauh dariku, membuat air itu mengenai bagian kemejaku, aku spontan berteriak ke arah motor itu yang sesaat melaju di depanku. Ku pandangi motor itu yang makin lama semakin melambat. Dia menoleh ke arah ku dan membuka kaca helm nya.
“Tunggu di situ.”

          Aku bingung mendengar perkataannya. Apa ini, sekarang dia yang mau ke sini, memangnya aku salah karena berteriak? Jelas-jelas dia yang salah naik motor ngebut di genangan air. Aku marah tapi juga takut, bagaimana kalau dia lebih galak? Bagaimana kalau dia marah? Sibuk dengan pikiranku sendiri, tanpa sadar motor itu sudah ada di depanku.

“Maaf, kalau anda marah karena saya berteriak, tetapi anda duluan yang…”
Dia membuka helmnya, dan….. aku rasa aku kenal siapa orang ini.

“Hai, gak nyangka bisa ketemu disini.”
Daniel, benar Daniel. Wajahnya sama persis, hanya rambut nya saja lebih pendek.
Aku tersenyum jengkel. “Gak nyangka juga, lihat nih gara-gara kamu baju aku basah.” Aku menunjuk ke arah kemejaku yang basah.

“Yah, gak sengaja, lagian ngapaian kamu malam-malam disini??”

“Menurut kamu? Pulang kerja lah.”

“Oh, sudah dapat kerja?? Berarti sudah bisa bayar hutang yah? Kamu pulang kerja jam segini? Kerja apa dimana?”

“Ih, mau tau aja. Nanti aku bayar hutang nya, berapa no rekening kamu? Cepetan sebelum angkutan umum nya datang nih.”

“Ya ampun, kamu disini mau naik angkutan umum? Malam-malam begini sendirian? Gak pernah liat berita yah? Bahaya tau.”

“Taulah, aku kan kerja di bidang jurnalistik, pasti aku update berita. Tapi kamu pikir aku mau naik apa lagi? Naik taksi? Bisa-bisa gaji aku sebulan habis cuma buat bayar argo taksi.” Aku memutar bola mataku dan kembali menoleh ke arah jalan, mencari angkutan umum yang mungkin akan lewat.

“Naik motor aku aja, bahaya pulang malam gini naik angkutan umum.”
Daniel menepuk-nepuk jok motornya mempersilahkan aku naik. Aku tergoda untuk naik, lumayan naik motor daripada nunggu angkutan umum yang dari tadi gak kelihatan.

“Tapi kamu gak lebih bahaya dari angkutan umum kan?”

“Eh, aku pernah ngantar kamu sampai rumah, dan selamatkan?”

“Tapi itu naik mobil, dan bukan kamu yang nyetir.”

“Yaudah kalau lebih percaya sama angkutan umum. Jangan menyesal yah.”
Daniel mulai menstarter motornya dan memakai helm nya.

“Eh, eh, tunggu. Aku kan gak bilang gak mau ikut, cuma nanya sih kamu sama angkutan umum lebih bahaya mana?”
“Itu bukan nanya, bikin sakit hati tau.”

“Ih, masih punya hati yah.”

“Cepet naik, atau aku tinggal nih.”

“Iyah, iyah, sabar.”

Aku mulai berjalan dan naik ke motor Daniel. Tiba-tiba saja Daniel memegang tanganku, aku hendak melepaskan tanganku dari pegangannya.

“Pegangan di pinggangku, atau kamu bisa jatuh, gak boleh banyak protes.”

“Iyah, iyah, aku bisa sendiri, gak perlu di pegangin.”

          Aku memegang jaket Daniel di sisi kanan dan kiri pinggang nya. Lalu Daniel mulai melaju, awalnya aku merasa baik-baik saja, kecuali udara yang benar-benar membuat aku menggigil. Lama-lama tanganku gemetar, dan sepertinya Daniel merasakan tangan gemetarku. Dia mulai melaju melambat dan akhirnya berhenti. Aku menggigit bibir bawahku dan tidak sanggup berkata-kata.

“Kenapa gak bilang kalau kedinginan?”
Daniel membuka jaketnya dan menyerahkannya kepadaku.

“Pakai jaket aku aja. Cepat. Aku gak mau kamu pingsan di motor aku terus di lihat polisi, nanti dikiranya aku ngapain kamu.”

          Aku tidak menjawab apapun, menggigil membuat lidahku keluh. Aku memakai jaket Daniel. Daniel memperhatikanku memakai jaket nya, setelah yakin aku lebih baik, Daniel mulai menyalakan mesin motor nya. Aku merasakan lagi tangan Daniel mengarahkan tanganku ke pinggang nya. Awalnya aku memegang baju nya, tetapi ketika Daniel melaju, dia melaju dengan sangat cepat. Membuatku terkejut dan reflek memeluknya.

“Susah banget dibilanginnya.”
Aku hanya diam mendengar Daniel bicara setengah kesal. Setelah beberapa menit aku merasa cukup hangat dan bisa untuk bicara.

“Kamu gak kedinginan?”

“Gak, selama pelukannya gak dilepas.”

Aku tersenyum malu menyadari aku begitu erat memeluk Daniel saat menggigil tadi.

“Huh, mau nya, ingat yah ini cuma karena tadi aku menggigil. Jangan mikir yang aneh-aneh.” Aku mulai melepas pelukanku.

          Tidak lama kemudian, Daniel sudah masuk ke dalam komplek rumahku, dan dia berbelok ke arah rumahku, tanpa bertanya kepadaku.

“Masih ingat yah jalannya?”
Daniel hanya mengangguk.

          Sampai di depan rumah, aku turun dari motor, dan melepaskan jaket Daniel. “Terima kasih yah.” Aku menyerahkan jaket ke arah Daniel.

“Sama-sama. Mana handphone kamu?”

“Handphone ku mati. Untuk apa?”

“Aku perlu, yaudah besok tunggu aku di tempat tadi yah jam 8. Dan handphone harus aktif.”

          Sebelum pertanyaan selanjutnya berhasil meluncur dari mulutku, Daniel sudah melajukan motornya. Aku hanya bisa menghela napas. Aku berjalan masuk ke dalam rumah. Sejak kerja di Dan’s aku memegang semua kunci duplikat rumah, karena jam pulangku tidak menentu dan aku tidak tega kalau harus membangunkan mbok.

_________________________###

          Seperti yang direncanakan, aku meninggalkan kantor jam 8 malam kurang 10 menit. Lalu aku berjalan keluar gedung dan berdiri di trotoar tempat kemarin aku bertemu Daniel. Tidak lama kemudian, sebuah motor besar berwarna merah menghampiriku. Daniel menyerahkan sebuah helm kepadaku. Aku sudah memakai jaket karena aku tidak mau menggigil lagi.

“Kamu belum makan kan?”
Aku menggeleng.

“Yaudah, cepet naik, kita makan dulu yah, baru aku antar kamu pulang.”
Aku mengangguk.

“Kenapa hari ini pakai jaket?”

“Yah, karena gak mau menggigil lagi.”

“Aku suka kalau kamu menggigil.”

“Kamu bukan suka aku menggigilnya, tapi kelakuan saat aku menggigilkan?”
Aku menyubit paha Daniel. Membuatnya meringis kesakitan.

          Daniel mengarahkan motor nya ke sebuah resto sederhana, tetapi sepertinya cukup ramai. Aku baru pertama ke resto ini, sebenarnya aku jarang sekali makan diluar. Mbok selalu menyiapkan makanan di rumah.

“Yuk turun.”

“Kamu sering kesini? Sepertinya ramai.”

“Kadang-kadang, iyah makanan nya lumayan dan harga nya terjangkau. Jadi lumayan buat hemat sampai kamu bayar hutang kamu.”

“Ya ampun, memangnya aku hutang berapa sih? Ditagih nya terus-terusan?? Kamu kan masih ingat jalan ke rumah aku, kenapa ga datang ke rumah dan minta bayar?”

“Aku kan gak tau kamu udah dapat kerja?”

          Daniel memang gak tau perkembangan Ola selama ini, karena sudah 3 bulan belakangan dia ada di Singapore untuk urusan bisnisnya. Mereka memasuki resto dan Daniel menunjuk sebuah meja di sudut ruangan mengarahkan agar Ola berjalan kesana sementara dia memesan makanan.

“Aku yang pesan yah, nasi goreng kamu suka?”

“Yah boleh, tapi ini masuk tambahan hutang aku gak?”

Daniel tertawa melihat wajah cemberutnya Ola. “Gak, baju renang nya juga bisa dianggap gratis, asal….. temenin aku makan malam setiap hari.”

Aku mencubit punggung tangan Daniel, dan membuatnya meringis kesakitan.

“Ya ampun, suka banget nyubit.”

“Makanya, jangan aneh-aneh. Memang kenapa juga harus nemenin kamu makan malam terus? Aku juga sibuk, ada kerjaan.”

“Oh, kan cuma nawarin aja. Kalau gak mau juga gapapa, tapi jangan pake nyubit.”

          Untung pelayannya datang mengantar minuman sebelum aku semakin mengeluarkan kata-kata menyebalkan untuk Daniel. Aku minum untuk menenangkan perasaanku, yang entah kenapa selalu berbeda bila dekat dengan Daniel, tapi perasaan itu selalu membuat aku mudah sekali ceplas-ceplos bila bicara ke Daniel. Dia selalu bisa merespon ucapanku dengan menyenangkan.

          Selesai makan, Daniel langsung mengantar aku pulang ke rumah. Seperti biasa, dia melaju dengan sangat cepat, sepertinya dia punya cita-cita menjadi pembalap. Aku jadi harus memegang pinggangnya. Sampai di depan rumah, aku turun dari motor dan ketika tanganku menyerahkan helm ke arah Daniel, tangan Daniel menarik tanganku, sehingga aku reflek maju beberapa langkah agar tidak terjatuh. Daniel membuka helm nya, menarik helm ku dengan tangan kanan nya, dan tangan kirinya menarik pinggang ku untuk melangkah lebih dekat ke arah nya.

“Daniel.”
“Ehm.”
Aku memanggil nama nya saat bibir Daniel menyentuh bibirku, awalny lembut, tapi Daniel seperti sudah lama menahan nya, dia semakin dalam mencium ku, disaat aku menggerakkan tanganku untuk menjauhkannya, dia semakin erat memeluk pinggangku. Aku tidak melakukan perlawanan atas ciuman Daniel, aku merasa nyaman dengan cara Daniel, dan membiarkannya melakukannya. Sampai kemudian Daniel bernapas terengah-engah, begitu juga denganku. Dia melepaskan ciuman nya, dan mendaratkan kecupan di keningku.

“Maaf Ola, aku gak bisa menahannya.”

“Daniel, aku gak tau harus marah ke kamu seperti apa.”

“Ola, jangan marah yah. Dan jangan ngejauh dari aku.”

“Anggap saja ini gak pernah terjadi yah Daniel, mungkin kamu sedang kedinginan, dan tidak sadar.”

Daniel menggenggam jemariku, “ Ola, maafin aku. Tapi aku sadar melakukannya. Jangan pernah biarin orang lain melakukan itu ke kamu yah selain aku.”

“Kenapa kamu boleh Daniel?”

“Karena kamu mengizinkan aku Ola” Sebelum aku membalas kata-kata Daniel, Daniel sudah mulai menciumku lagi, kali ini lebih lembut.

“Daniel, nanti bisa dilihat tetangga. Sudah kamu pulang sana. Terima kasih sudah mengantar aku. Ini handphone ku, kemarin kamu minta kan?”

“Oh iyah, hampir lupa. Sini.”
Daniel mengambil hp ku, dan menekan beberapa tombol, dan kemudian sebuah dering berbunyi. Daniel menelepon ke hp nya.

“Nah, ini no aku. Kalau ada apa-apa hubungi aku. Kalau pulang malam juga minta aku jemput aja. Ini no kamu, nah kalau aku butuh uang, aku telepon kamu yah.” Daniel tersenyum lalu mengedipkan sebelah mata nya.

          Aku berjalan masuk ke rumah, dan kemudian aku mendengar suara mesin motor Daniel yang makin lama makin menjauh. Aku masih belum bisa mengerti, kenapa aku membiarkan Daniel menciumku, dan aku tidak memarahinya sama sekali. Aku malah merasakan sesuatu yang aneh.
______________________###


0 komentar:

Posting Komentar

 

De_windows © 2008. Template Design By: SkinCorner