Pembunuh Cahaya Part 4
Leo
bermimpi malam itu, mimpi yang sama yang selalu menghantuinya lagi dan lagi,
menyakitinya. Dia bermimpi berteriak untuk mencegah, tetapi semuanya sudah
terlambat, dia berteriak-teriak menghampiri Leanna yang terkapar penuh darah...
darah itu begitu banyak memenuhi tangannya, bersumber dari kepala Leanna.
Dan
ketika kemudian darah itu semakin banyak dan banyak, Leo menyadari bahwa dia
sudah tidak punya harapan lagi, bahwa dia sudah kehilangan semuanya. Akhir
mimpinya selalu sama, dipenuhi dengan kesedihan dan kehampaan yang menyakitkan.
Dengan
panik Leo tergeragap, terenggut paksa dari mimpinya yang lelap. Tubuhnya
berkeringat dan napasnya tersengal.
Mimpi
itu yang selalu menghantui malam-malamnya dan menyiksanya, seandainya
waktu itu dia sadar akan sikap aneh Leanna, seandainya dia bisa menebak dan
memberikan sedikit perhatian kepada Leanna untuk mengetahui apa yang berkecamuk
di benaknya. Seandainya saja....
Leo
mendesah keras, manusia memang hanya bisa berandai-andai ketika sudah dipenuhi
penyesalan mendalam.
Seperti
malam kemarin. Jantung Leo berdenyut. Dia telah merenggut istrinya dengan
kasar. Masih teringat jelas jeritan dan permohonan Saira yang penuh air mata
memohon kepadanya agar tersadar, tangisan Saira sejenak membuatnya ragu. Tetapi
kemudian dia membayangkan Leanna, Leanna yang menderita, buta dan lumpuh,
kehilangan kemampuan otaknya sehingga mengganggu mentalnya. Leanna yang
menanggung semua kepedihan sampai tak kuat lagi, dan semua itu gara-gara Saira.
Dan
Leopun pada akhirnya bertindak kejam, memperlakukan Saira dengan kejam, untuk
memuaskan dendamnya, untuk membuat Saira merasakan apa yang dirasakan oleh
Leanna.
Pembalasan
dendamnya harus setimpal, sakitnya harus sama. Ini adalah dendam Leanna,
dendamnya juga, dan masih akan ada banyak lagi kesakitan yang akan ditimpakan
Leo kepada Saira.
Saira
harus menerimanya.
Tetapi....
kenapa rasa sakit ini semakin lama semakin menekan perasaannya? Membuatnya
sesak dan tidak mampu menahan rasa.
***
Saira
menangis semalaman dengan tubuh sakit dan perih, sampai akhirnya dia tertidur.
Ketika bangun, dengan tertatih dia melangkah ke kamar mandi. Tubuhnya sakit,
seluruh tubuhnya terasa sakit akibat pemaksaan yang dilakukan oleh Leo
kepadanya.
Dia
langsung ke kamar mandi dan mencuci tubuhnya dengan bersih, menggosok kulitnya
di pancuran kamar mandi sampai terasa sakit. Seolah semua itu bisa
menghilangkan sisa penghinaan dan sikap merendahkan yang dilakukan Leo
kepadanya. Air matanya sudah terkuras habis, bahkan Saira sudah tidak mampu menangis
lagi.
Cukup
sudah! Dia sungguh yakin bahwa memang Leo tidak mencintainya dan tidak pernah
mencintainya, entah karena apa lelaki itu menikahinya, yang pasti bukan karena
cinta.
Saira
memakai pakaiannya dan kemudian mulai merapikan pakaiannya di lemari dan
memasukkannya ke dalam tas. Perkawinan ini sejak awal memang diperuntukkan
untuk membuat Saira menderita. Air matanya menetes, semua yang dilakukan Leo
kepadanya, kelembutan itu, kasih sayang dan tatapan mata penuh cinta itu,
semuanya adalah kebohongan.
Hati
Saira terasa sakit, dia tidak mampu lagi menahan kebencian Leo yang tanpa
alasan. Dia harus pergi dari rumah ini, segera.
“Mau
kemana?” Pintu kamarnya terbuka tanpa peringatan, membuat Saira terperanjat
kaget dan menyesal kenapa dia tidak terpikir untuk menguncinya.
Leo
berdiri di sana, lelaki itu sudah mandi dan bercukur, memakai jas kerjanya siap
untuk berangkat kerja.
Saira
menatap Leo, dan merasakan masih ada sebersit cinta yang berdenyut di benaknya
untuk lelaki itu. Lelaki yang semalam telah melakukan hal yang intim
kepadanya...dengan pemaksaan dan sikap kejam. Dengan tegar Saira memalingkan
wajah dan memfokuskan diri untuk merapikan pakaiannya.
“Aku
akan pergi dari rumah ini.”
Hening.
Lalu Leo mengeluarkan kata-kata mengancam,
“Apakah
kau tidak mendengar kata-kataku kemarin Saira? Bahwa aku akan mengejarmu, dan
menghancurkanmu? Bukan hanya dirimu tetapi juga Andre, dan seluruh keluarga
Andre kalau perlu.”
Keluarga
Andre, ibunya dan adik-adik Andre semuanya bagaikan keluarga Saira sendiri.
Ketika ibunya meninggal dan Saira ditinggalkan sebatang kara, yang mengurusinya
adalah ibu Andre, perempuan itu tak segan-segan mengajak Saira menginap di
rumahnya ketika dia sedang berada dalam masa berduka. Rumah mereka memang hanya
dibatasi pagar tembok pendek sehingga mereka bisa saling berkunjung dengan
cepat, dan ketika Saira pada akhirnya memutuskan tinggal di rumah peninggalan
ibunya sendirian, Ibu Andre selalu menengok dan mengiriminya makanan, dan
menjaganya ketika Saira sakit layaknya ibunya sendiri. Begitupun dengan dua
adik perempuan Andre yang keduanya masih duduk di bangku sekolah, SMU dan SMP,
keduanya juga sangat menyayangi Saira dan menganggapnya sebagai kakak mereka
sendiri.
Saira
tidak akan tahan kalau Leo melakukan kekejaman kepada keluarga Andre, sama
seperti yang dilakukan Leo kepadanya.
“Apa
yang akan kau lakukan kepada Andre dan keluarganya?” Saira berucap pelan,
berusaha tampak kuat di depan Leo. Dia harus kuat, kalau tidak lelaki itu akan
semakin merendahkan dan menyakitinya.
“Apapun.
Aku bisa menghancurkan bisnismu, aku bisa menghancurkan kelurga Andre semauku.
Aku tahu kalau Andre memiliki seorang ibu yang sudah tua dan dua adik perempuan
yang masih kecil.” Senyuman Leo tampak kejam, “Bayangkan apa yang terjadi
kepada ibu Andre kalau tiba-tiba kedua anak perempuannya diculik dan diperkosa
oleh orang tak dikenal sepulang sekolahnya.’
Saira
terkesiap hingga berdiri dari duduknya, memandang Leo dengan kaget dan tak
percaya.
“Kau..
kau tega melakukannya?” tanyanya kaget.
Leo
berdiri di sana dan menatap Saira tanpa ekspresi, “Bukanlah aku berkata
kepadamu bahwa aku akan melakukan ancamanku sepenuh hati? Hati-hati Saira, aku
tidak pernah main-main. Jadi sebaiknya kau memikirkan ulang kalau mau pergi
dari rumah ini, karena orang-orang yang menolongmu, orang-orang terdekatmu,
mereka akan menerima akibatnya.”
“Kenapa
kau memaksaku bertahan di rumah ini sedangkan kau begitu membenciku?” Saira
menatap Leo, penuh dengan rasa sakit.
Sementara
itu Leo membalas tatapan Saira, lalu entah kenapa mengernyitkan dahinya dan
tiba-tiba membalikkan badannya dan melangkah pergi,
“Karena
hukumanmu belum selesai, Saira. Kau baru boleh pergi kalau kau sudah menerima
semua hukumanmu.”
Ketika
Leo pergi, Saira tertegun dengan rasa bingung yang menderanya. Hukuman? Apa
maksud Leo dengan hukuman? Dan kenapa dia harus dihukum?
Saira
menatap pakaian yang sudah diaturnya di tas dengan ragu. Kalau dia pergi,
keselamatan Andre dan keluarganya yang menjadi taruhannya. Saira tidak mau
orang-orang terluka tanpa dirinya. Leo yang sekarang tampak begitu jahat dan
menakutkan. Mungkin memang Saira harus mengorbankan dirinya
***
“Kau
harus meninggalkan Leo.” Pagi itu Andre meneleponnya, semalam lelaki itu
meneleponnya berkali-kali, tetapi Saira terlalu sibuk menangis kesakitan dan
tidak mampu mengangkatnya.
Sekarang
Saira sudah menenangkan diri, bertekad untuk menghadapi semuanya. Inilah resiko
yang harus dia ambil, dia menikahi Leo atas keputusannya sendiri, karena dia
tertipu oleh sikap manis dan cinta palsu Leo. Sekarang Saira terjebak dalam
kebencian Leo yang entah karena apa. Dan dia tidak mau melibatkan siapapun dan
melukai orang-orang yang disayanginya.
“Aku
bisa menghadapinya, Andre.”
“Tetapi
sikapnya kasar sekali kemarin, menarik lenganmu seperti itu.” Andre tampak
geram, “Aku tidak akan pernah sekasar itu kepada perempuan manapun.”
Saira
menghela napas panjang. Matanya berkaca-kaca, tiba-tiba dia rindu kehidupan
damainya yang dulu, ketika dia bisa menikmati hari yang tenang dibalik warna
hijau dan keindahan bunga-bunga dirumah kacanya. Sekarang bahkan untuk
mengunjungi rumah kacanya sendiripun Saira tidak berani,
“Aku
akan mencoba mencari penjelasan dari semua ini, Andre... semua ini pasti ada
alasannya. Leo tidak mau menjelaskan kepadaku, tetapi aku akan menemukan cara.”
“Jadi
kau tidak mau keluar dari rumah itu?”
Saira
tersenyum lemah, “Perkawinan ini kuambil dengan keputusanku sendiri, tanpa
pemaksaan. Aku sudah dewasa dan aku akan menanggung resiko atas keputusanku.”
Dan aku juga tidak mau Leo melukaimu dan keluargamu.
Andre
terdiam di seberang sana, tampak memikirkan kata-kata Saira, tetapi kemudian
lelaki itu mendesah,
“Kalau
keadaan sudah tidak tertahankan lagi, berjanjilah untuk meminta bantuanku.”
“Ya,
Andre.”
“Hati-hati
ya, dan hubungi aku terus.”
“Baik
Andre.”
Saira
memejamkan mata ketika mengakhiri percakapannya dengan Andre. Sekarang dia
benar-benar sendirian dalam menghadapi semuanya.
***
Yang
dilakukan oleh Saira pertama kali adalah mencari informasi. Dia memasuki ruang
kerja Leo diam-diam, yang untungnya tidak dikunci. Para pelayan mungkin tidak
akan mencurigainya, toh dia kan istri Leo jadi dia berhak berada di mana saja
di rumah ini.
Saira
sudah memperkirakan bahwa dia bebas menjelajahi rumah ini sampai sore.
Berdasarkan kebiasaan, dia tahu bahwa Leo baru akan pulang malam nanti. Jadi
Saira punya waktu panjang untuk mencari informasi.
Sejenak
Saira berdiri ragu sambil menatap ke sekeliling ruang kerja Leo yang besar dan
luas, yang didominasi oleh perabot kayu yang maskulin. Ada rak besar di sudut
ruangan berisi buku-buku, dan ada meja besar ditengah ruangan, dengan lemari
kaca di belakangnya. Saira bingung harus mulai dari mana. Tetapi kemudian dia
melangkah menuju meja besar itu dan memeriksa laci-lacinya, biasanya orang
menyimpan hal-hal pribadi dan rahasia di laci mejanya. Saira hanya berharap
bahwa laci itu tidak dikunci.
Pelan
Saira mencoba membuka laci pertama meja kerja Leo, tetapi terkunci. Dengan
kecewa dia mencoba membuka laci yang lain, tetapi semuanya terkunci. Dia
mendesah dan menghela napas kesal. Duduk di atas kursi besar milik Leo.
Berusaha untuk tidak menyerah dan mencoba membuka laci-laci yang lain. Tetapi
percuma karena semuanya terkunci.
Dahinya
mengerut, pantas saja pintu ruang kerjanya tidak terkunci. Leo rupanya sudah
memastikan semua berkasnya entah apapun itu, aman terkunci di laci ruang
kerjanya.
Mata
Saira memandang sekeliling, selain laci mejanya sepertinya tidak ada yang bisa
diharapkannya, ruang kerja Leo tampak steril. Bahkan meja kerjanya yang besar
dan dilapisi kaca hitam ini bersih tanpa ada selembar kertaspun di atasnya.
Hanya ada kotak berisi alat tulis seperti pena, penggaris, dan beberapa pensil
di sana.
Saira
memikirkan tentang kertas, dan terpaku ketika melihat ujung kecil kertas
berwarna putih yang terselip tak kentara di laci nomor tiga meja. Dia berusaha
menariknya, meskipun agak kesulitan. Gerakannya malahan membuat kertas itu
sedikit masuk ke dalam.
Saira
mengambil penggaris yang ada di atasmeja dan berusaha mengorek-korek kertas
itu. Semakin lama usahanya semakin membuahkan hasil, kertas itu bisa ditariknya
keluar.
Ternyata
itu bukan kertas biasa. Dia tebal dan kaku, itu adalah sebuah foto. Saira
membalik kertas itu dan di depannya, tampaklah foto Leo. Foto Leo sedang
tertawa dan memeluk seorang perempuan yang sangat cantik, sepertinya mereka
sebaya.
Dan
mereka berdua tampak seperti pasangan yang sangat bahagia.
***
Leo
memasuki rumah mewah di pinggiran kota tempat Leanna dirawat, dia terbiasa
mampir ketika dalam perjalanan pulang dari kantornya,
Tidak
seperti biasanya, Leanna sedang duduk di halaman belakang dan menatap taman
bunga mereka malam itu. Perawatnya menyelimuti pangkuannya dengan selimut tebal
dan memakaikan jaket rajutan yang hangat kepadanya.
“Hai
Leanna, aku datang.”
Mata
Leanna tampak kosong, perempuan itu tidak seperti biasanya, dia tidak
bereaksi atas kedatangan Leo.
“Leanna?”
Leo mendekat, berlutut di depan kursi roda Leanna, “Kenapa, sayang?”
Tiba-tiba
air mata mengalir dari pipi perempuan itu. Semakin deras dan semakin deras.
“Leo...”
Leanna berbisik lirih, “Leo....” tangisnya semakin keras dan dia terisak-isak.
Leo
mengernyit pedih dan menggenggam tangan Leanna erat-erat, “Sayang... jangan
ingat-ingat lagi, jangan kau ingat lagi...”
Tetapi
rupanya Leanna sedang mengingat. Psikiaternya mengatakan bahwa akan ada fase di
mana Leanna akan mengingat semua kenangan buruknya. Akan ada fase lain dimana
Leanna seolah-olah ‘kosong’ tanpa ekspresi dan tanpa emosi. Dan akan ada fase
dimana seluruh emosi Leanna tertumpah dan dia mengamuk, berteriak-teriak tidak
jelas.
Fase
yang paling menyedihkan adalah ketika Leanna mengingat kenangan buruk yang
penuh darah itu, menyakiti dirinya sendiri.
Leanna
menangis menutup mukanya dengan kedua tangannya, sampai tubuhnya berguncang-guncang.
Leo tidak tahan melihatnya, dia memeluk Leanna dan membiarkan perempuan
itu menangis di dadanya. Tangis Leanna selalu membuatnya merasakan
kesakitan yang amat sangat, seolah jantungnya dicabut paksa dan rongga dadanya
dipaksa kosong.
Tangisan
Leanna telah menghancurkannya sedikit demi sedikit, menumbuhkan dendam yang tak
bertepi, mendorong Leo sampai di batas nuraninya dan berbuat kejam kepada
Saira. Leo memejamkan matanya dan kenangan itu membanjirinya, kenangan akan
masa lalu menyakitkan yang selalu menghantuinya.
Sumber
: http://www.anakcantikspot.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar