Kamis, 06 Juni 2013

Pembunuh Cahaya Part 4



Pembunuh Cahaya Part 4

Leo bermimpi malam itu, mimpi yang sama yang selalu menghantuinya lagi dan lagi, menyakitinya. Dia bermimpi berteriak untuk mencegah, tetapi semuanya sudah terlambat, dia berteriak-teriak menghampiri Leanna yang terkapar penuh darah... darah itu begitu banyak memenuhi tangannya, bersumber dari kepala Leanna.

Dan ketika kemudian darah itu semakin banyak dan banyak, Leo menyadari bahwa dia sudah tidak punya harapan lagi, bahwa dia sudah kehilangan semuanya. Akhir mimpinya selalu sama, dipenuhi dengan kesedihan dan kehampaan yang menyakitkan.

Dengan panik Leo tergeragap, terenggut paksa dari mimpinya yang lelap. Tubuhnya berkeringat dan napasnya tersengal.

Mimpi itu yang selalu menghantui malam-malamnya dan menyiksanya, seandainya  waktu itu dia sadar akan sikap aneh Leanna, seandainya dia bisa menebak dan memberikan sedikit perhatian kepada Leanna untuk mengetahui apa yang berkecamuk di benaknya. Seandainya saja....

Leo mendesah keras, manusia memang hanya bisa berandai-andai ketika sudah dipenuhi penyesalan mendalam.

Seperti malam kemarin. Jantung Leo berdenyut. Dia telah merenggut istrinya dengan kasar. Masih teringat jelas jeritan dan permohonan Saira yang penuh air mata memohon kepadanya agar tersadar, tangisan Saira sejenak membuatnya ragu. Tetapi kemudian dia membayangkan Leanna, Leanna yang menderita, buta dan lumpuh, kehilangan kemampuan otaknya sehingga mengganggu mentalnya. Leanna yang menanggung semua kepedihan sampai tak kuat lagi, dan semua itu gara-gara Saira.

Dan Leopun pada akhirnya bertindak kejam, memperlakukan Saira dengan kejam, untuk memuaskan dendamnya, untuk membuat Saira merasakan apa yang dirasakan oleh Leanna.

Pembalasan dendamnya harus setimpal, sakitnya harus sama. Ini adalah dendam Leanna, dendamnya juga, dan masih akan ada banyak lagi kesakitan yang akan ditimpakan Leo kepada Saira.

Saira harus menerimanya.

Tetapi.... kenapa rasa sakit ini semakin lama semakin menekan perasaannya? Membuatnya sesak dan tidak mampu menahan rasa.
***
Saira menangis semalaman dengan tubuh sakit dan perih, sampai akhirnya dia tertidur. Ketika bangun, dengan tertatih dia melangkah ke kamar mandi. Tubuhnya sakit, seluruh tubuhnya terasa sakit akibat pemaksaan yang dilakukan oleh Leo kepadanya.

Dia langsung ke kamar mandi dan mencuci tubuhnya dengan bersih, menggosok kulitnya di pancuran kamar mandi sampai terasa sakit. Seolah semua itu bisa menghilangkan sisa penghinaan dan sikap merendahkan yang dilakukan Leo kepadanya. Air matanya sudah terkuras habis, bahkan Saira sudah tidak mampu menangis lagi.

Cukup sudah! Dia sungguh yakin bahwa memang Leo tidak mencintainya dan tidak pernah mencintainya, entah karena apa lelaki itu menikahinya, yang pasti bukan karena cinta.

Saira memakai pakaiannya dan kemudian mulai merapikan pakaiannya di lemari dan memasukkannya ke dalam tas. Perkawinan ini sejak awal memang diperuntukkan untuk membuat Saira menderita. Air matanya menetes, semua yang dilakukan Leo kepadanya, kelembutan itu, kasih sayang dan tatapan mata penuh cinta itu, semuanya adalah kebohongan.

Hati Saira terasa sakit, dia tidak mampu lagi menahan kebencian Leo yang tanpa alasan. Dia harus pergi dari rumah ini, segera.

“Mau kemana?” Pintu kamarnya terbuka tanpa peringatan, membuat Saira terperanjat kaget dan menyesal kenapa dia tidak terpikir untuk menguncinya.

Leo berdiri di sana, lelaki itu sudah mandi dan bercukur, memakai jas kerjanya siap untuk berangkat kerja.

Saira menatap Leo, dan merasakan masih ada sebersit cinta yang berdenyut di benaknya untuk lelaki itu. Lelaki yang semalam telah melakukan hal yang intim kepadanya...dengan pemaksaan dan sikap kejam. Dengan tegar Saira memalingkan wajah dan memfokuskan diri untuk merapikan pakaiannya.

“Aku akan pergi dari rumah ini.”

Hening. Lalu Leo mengeluarkan kata-kata mengancam,

“Apakah kau tidak mendengar kata-kataku kemarin Saira? Bahwa aku akan mengejarmu, dan menghancurkanmu? Bukan hanya dirimu tetapi juga Andre, dan seluruh keluarga Andre kalau perlu.”

Keluarga Andre, ibunya dan adik-adik Andre semuanya bagaikan keluarga Saira sendiri. Ketika ibunya meninggal dan Saira ditinggalkan sebatang kara, yang mengurusinya adalah ibu Andre, perempuan itu tak segan-segan mengajak Saira menginap di rumahnya ketika dia sedang berada dalam masa berduka. Rumah mereka memang hanya dibatasi pagar tembok pendek sehingga mereka bisa saling berkunjung dengan cepat, dan ketika Saira pada akhirnya memutuskan tinggal di rumah peninggalan ibunya sendirian, Ibu Andre selalu menengok dan mengiriminya makanan, dan menjaganya ketika Saira sakit layaknya ibunya sendiri. Begitupun dengan dua adik perempuan Andre yang keduanya masih duduk di bangku sekolah, SMU dan SMP, keduanya juga sangat menyayangi Saira dan menganggapnya sebagai kakak mereka sendiri.

Saira tidak akan tahan kalau Leo melakukan kekejaman kepada keluarga Andre, sama seperti yang dilakukan Leo kepadanya.

“Apa yang akan kau lakukan kepada Andre dan keluarganya?” Saira berucap pelan, berusaha tampak kuat di depan Leo. Dia harus kuat, kalau tidak lelaki itu akan semakin merendahkan dan menyakitinya.

“Apapun. Aku bisa menghancurkan bisnismu, aku bisa menghancurkan kelurga Andre semauku. Aku tahu kalau Andre memiliki seorang ibu yang sudah tua dan dua adik perempuan yang masih kecil.” Senyuman Leo tampak kejam, “Bayangkan apa yang terjadi kepada ibu Andre kalau tiba-tiba kedua anak perempuannya diculik dan diperkosa oleh orang tak dikenal sepulang sekolahnya.’

Saira terkesiap hingga berdiri dari duduknya, memandang Leo dengan kaget dan tak percaya.

“Kau.. kau tega melakukannya?” tanyanya kaget.

Leo berdiri di sana dan menatap Saira tanpa ekspresi, “Bukanlah aku berkata kepadamu bahwa aku akan melakukan ancamanku sepenuh hati? Hati-hati Saira, aku tidak pernah main-main. Jadi sebaiknya kau memikirkan ulang kalau mau pergi dari rumah ini, karena orang-orang yang menolongmu, orang-orang terdekatmu, mereka akan menerima akibatnya.”

“Kenapa kau memaksaku bertahan di rumah ini sedangkan kau begitu membenciku?” Saira menatap Leo, penuh dengan rasa sakit.

Sementara itu Leo membalas tatapan Saira, lalu entah kenapa mengernyitkan dahinya dan tiba-tiba membalikkan badannya dan melangkah pergi,

“Karena hukumanmu belum selesai, Saira. Kau baru boleh pergi kalau kau sudah menerima semua hukumanmu.”

Ketika Leo pergi, Saira tertegun dengan rasa bingung yang menderanya. Hukuman? Apa maksud Leo dengan hukuman? Dan kenapa dia harus dihukum?

Saira menatap pakaian yang sudah diaturnya di tas dengan ragu. Kalau dia pergi, keselamatan Andre dan keluarganya yang menjadi taruhannya. Saira tidak mau orang-orang terluka tanpa dirinya. Leo yang sekarang tampak begitu jahat dan menakutkan. Mungkin memang Saira harus mengorbankan dirinya
***
“Kau harus meninggalkan Leo.” Pagi itu Andre meneleponnya, semalam lelaki itu meneleponnya berkali-kali, tetapi Saira terlalu sibuk menangis kesakitan dan tidak mampu mengangkatnya.

Sekarang Saira sudah menenangkan diri, bertekad untuk menghadapi semuanya. Inilah resiko yang harus dia ambil, dia menikahi Leo atas keputusannya sendiri, karena dia tertipu oleh sikap manis dan cinta palsu Leo. Sekarang Saira terjebak dalam kebencian Leo yang entah karena apa. Dan dia tidak mau melibatkan siapapun dan melukai orang-orang yang disayanginya.

“Aku bisa menghadapinya, Andre.”

“Tetapi sikapnya kasar sekali kemarin, menarik lenganmu seperti itu.” Andre tampak geram, “Aku tidak akan pernah sekasar itu kepada perempuan manapun.”

Saira menghela napas panjang. Matanya berkaca-kaca, tiba-tiba dia rindu kehidupan damainya yang dulu, ketika dia bisa menikmati hari yang tenang dibalik warna hijau dan keindahan bunga-bunga dirumah kacanya. Sekarang bahkan untuk mengunjungi rumah kacanya sendiripun Saira tidak berani,

“Aku akan mencoba mencari penjelasan dari semua ini, Andre... semua ini pasti ada alasannya. Leo tidak mau menjelaskan kepadaku, tetapi aku akan menemukan cara.”
“Jadi kau tidak mau keluar dari rumah itu?”

Saira tersenyum lemah, “Perkawinan ini kuambil dengan keputusanku sendiri, tanpa pemaksaan. Aku sudah dewasa dan aku akan menanggung resiko atas keputusanku.” Dan aku juga tidak mau Leo melukaimu dan keluargamu.

Andre terdiam di seberang sana, tampak memikirkan kata-kata Saira, tetapi kemudian lelaki itu mendesah,

“Kalau keadaan sudah tidak tertahankan lagi, berjanjilah untuk meminta bantuanku.”

“Ya, Andre.”

“Hati-hati ya, dan hubungi aku terus.”

“Baik Andre.”

Saira memejamkan mata ketika mengakhiri percakapannya dengan Andre. Sekarang dia benar-benar sendirian dalam menghadapi semuanya.
***
Yang dilakukan oleh Saira pertama kali adalah mencari informasi. Dia memasuki ruang kerja Leo diam-diam, yang untungnya tidak dikunci. Para pelayan mungkin tidak akan mencurigainya, toh dia kan istri Leo jadi dia berhak berada di mana saja di rumah ini.

Saira sudah memperkirakan bahwa dia bebas menjelajahi rumah ini sampai sore. Berdasarkan kebiasaan, dia tahu bahwa Leo baru akan pulang malam nanti. Jadi Saira punya waktu panjang untuk mencari informasi.

Sejenak Saira berdiri ragu sambil menatap ke sekeliling ruang kerja Leo yang besar dan luas, yang didominasi oleh perabot kayu yang maskulin. Ada rak besar di sudut ruangan berisi buku-buku, dan ada meja besar ditengah ruangan, dengan lemari kaca di belakangnya. Saira bingung harus mulai dari mana. Tetapi kemudian dia melangkah menuju meja besar itu dan memeriksa laci-lacinya, biasanya orang menyimpan hal-hal pribadi dan rahasia di laci mejanya. Saira hanya berharap bahwa laci itu tidak dikunci.

Pelan Saira mencoba membuka laci pertama meja kerja Leo, tetapi terkunci. Dengan kecewa dia mencoba membuka laci yang lain, tetapi semuanya terkunci. Dia mendesah dan menghela napas kesal. Duduk di atas kursi besar milik Leo. Berusaha untuk tidak menyerah dan mencoba membuka laci-laci yang lain. Tetapi percuma karena semuanya terkunci.

Dahinya mengerut, pantas saja pintu ruang kerjanya tidak terkunci. Leo rupanya sudah memastikan semua berkasnya entah apapun itu, aman terkunci di laci ruang kerjanya.

Mata Saira memandang sekeliling, selain laci mejanya sepertinya tidak ada yang bisa diharapkannya, ruang kerja Leo tampak steril. Bahkan meja kerjanya yang besar dan dilapisi kaca hitam ini bersih tanpa ada selembar kertaspun di atasnya. Hanya ada kotak berisi alat tulis seperti pena, penggaris, dan beberapa pensil di sana.

Saira memikirkan tentang kertas, dan terpaku ketika melihat ujung kecil kertas berwarna putih yang terselip tak kentara di laci nomor tiga meja. Dia berusaha menariknya, meskipun agak kesulitan. Gerakannya malahan membuat kertas itu sedikit masuk ke dalam.

Saira mengambil penggaris yang ada di atasmeja dan berusaha mengorek-korek kertas itu. Semakin lama usahanya semakin membuahkan hasil, kertas itu bisa ditariknya keluar.

Ternyata itu bukan kertas biasa. Dia tebal dan kaku, itu adalah sebuah foto. Saira membalik kertas itu dan di depannya, tampaklah foto Leo. Foto Leo sedang tertawa dan memeluk seorang perempuan yang sangat cantik, sepertinya mereka sebaya.

Dan mereka berdua tampak seperti pasangan yang sangat bahagia.
***
Leo memasuki rumah mewah di pinggiran kota tempat Leanna dirawat, dia terbiasa mampir ketika dalam perjalanan pulang dari kantornya,

Tidak seperti biasanya, Leanna sedang duduk di halaman belakang dan menatap taman bunga mereka malam itu. Perawatnya menyelimuti pangkuannya dengan selimut tebal dan memakaikan jaket rajutan yang hangat kepadanya.

“Hai Leanna, aku datang.”

Mata Leanna tampak kosong,  perempuan itu tidak seperti biasanya, dia tidak bereaksi atas kedatangan Leo.

“Leanna?” Leo mendekat, berlutut di depan kursi roda Leanna, “Kenapa, sayang?”

Tiba-tiba air mata mengalir dari pipi perempuan itu. Semakin deras dan semakin deras.

“Leo...” Leanna berbisik lirih, “Leo....” tangisnya semakin keras dan dia terisak-isak.

Leo mengernyit pedih dan menggenggam tangan Leanna erat-erat, “Sayang... jangan ingat-ingat lagi, jangan kau ingat lagi...”

Tetapi rupanya Leanna sedang mengingat. Psikiaternya mengatakan bahwa akan ada fase di mana Leanna akan mengingat semua kenangan buruknya. Akan ada fase lain dimana Leanna seolah-olah ‘kosong’ tanpa ekspresi dan tanpa emosi. Dan akan ada fase dimana seluruh emosi Leanna tertumpah dan dia mengamuk, berteriak-teriak tidak jelas.

Fase yang paling menyedihkan adalah ketika Leanna mengingat kenangan buruk yang penuh darah itu, menyakiti dirinya sendiri.

Leanna menangis menutup mukanya dengan kedua tangannya, sampai tubuhnya berguncang-guncang. Leo tidak tahan melihatnya, dia memeluk Leanna dan membiarkan perempuan itu  menangis di dadanya. Tangis Leanna selalu membuatnya merasakan kesakitan yang amat sangat, seolah jantungnya dicabut paksa dan rongga dadanya dipaksa kosong.

Tangisan Leanna telah menghancurkannya sedikit demi sedikit, menumbuhkan dendam yang tak bertepi, mendorong Leo sampai di batas nuraninya dan berbuat kejam kepada Saira. Leo memejamkan matanya dan kenangan itu membanjirinya, kenangan akan masa lalu menyakitkan yang selalu menghantuinya.


Sumber : http://www.anakcantikspot.blogspot.com








0 komentar:

Posting Komentar

 

De_windows © 2008. Template Design By: SkinCorner