Kamis, 06 Juni 2013

Pembunuh Cahaya Part 6



Pembunuh Cahaya part 6 

“Kau tidak boleh bertemu dengan Andre lagi, dan kau tidak boleh mengurus rumah kaca itu lagi.” Leo langsung mendatangi Saira malam itu di kamarnya, seperti biasa masuk tanpa permisi dan bersikap angkuh.

Bagi Leo, ini adalah salah satu rencana balas dendamnya, menahan Saira dari segala hasrat yang disukainya. Leo tahu Saira sangat menyukai rumah kacanya, dan tidak bisa mengurus rumah kacanya pasti akan sangat menyakitkan bagi perempuan itu.
Saira mendongak, menatap Leo dengan lelah, tiba-tiba Leo memperhatikan bahwa Saira tampak lebih pucat dan kelihatan sakit. Jantungnya berdenyut, tetapi kemudian dia langsung menepis perasaan apapun itu yang sempat muncul. Tidak boleh ada belas kasihan, kalau dia ingin tujuannya tercapai, dia harus mampu bersikap kejam.

“Kenapa tidak boleh?” tanya Saira kemudian.
Leo mengangkat alisnya, “Kau tidak berhak bertanya. Aku suamimu, apapun keputusanku kau harus mengikutinya.”
Suami macam apa yang memperlakukan isterinya seperti ini? Tanpa sadar Saira meringis perih,
“Apakah kau sengaja melakukannya Leo? Untuk menyiksaku? Sebenarnya apa kesalahanku sehingga kau seolah-olah ingin menghukumku?”
Leo mengetatkan gerahamnya, “Tidak perlu banyak bertanya.” Geramnya, “Kalau aku bilang begitu, kau harus menurutinya.” Lelaki itu melangkah mendekat dengan mengancam, “Atau kau ingin merasakan lagi ‘hukumanku’ kepadamu?”
Saira langsung terkesiap, kalimat lelaki itu menyiratkan akan pemerkosaan kejam yang dilakukannya malam itu kepada Saira, wajahnya bertambah pucat.
“Oke.” Gumamnya kemudian. “Silahkan hukum aku, kuharap kau puas dengan apapun yang kau rencanakan.” Gumam Saira sinis kemudian.  Dia takut, dia sungguh takut Leo akan memperkosanya dengan kasar seperti kemarin. Itu adalah pengalaman pertama Saira, dan rasanya menyakitkan. Saira tidak bisa membayangkan harus mengalami kesakitan itu lagi, ditambah dengan nyeri di hatinya, bahwa yang melakukannya adalah Leo... lelaki yang bahkan sampai sekarangpun sangat dia cintai.
“Bagus.” Leo mengernyit, “Jangan coba-coba menemui Andre, Saira. ataupun meminta bantuannya. Seluruh penghuni rumah ini, semua mengawasimu. Dan kau akan menyesal kalau sampai aku tahu bahwa kau menghubungi Andre.”
Setelah mengucapkan ancaman yang keji itu, Leo membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi sambil membanting pintu di belakangnya.
***
Saira tentu saja tidak bisa untuk tidak menghubungi Andre, lagipula lelaki itu menghubunginya terus menerus, meskipun Saira masih belum berani mengangkatnya, tetapi di malam hari, ketika semua penghuni rumah sudah beranjak tidur, Saira mengunci pintu kamarnya, dan menelusup dalam kegelapan masuk ke balik selimut, dan menelepon Andre.
“Saira!” Andre setengah berteriak ketika mendengar sapaan pertama Saira. “Apa yang terjadi? Kau tidak bisa dihubungi seharian, dan aku sangat mencemaskanmu. Aku tadi datang ke rumahmu, tetapi pegawai Leo menahanku di gerbang, tidak memperbolehkanku masuk....kau baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja.”
“Kau tidak baik-baik saja.” Andre bersikeras, “Aku sudah mengenalmu sejak kecil, Saira, kau sudah seperti adik kandungku sendiri, dari suaramupun aku sudah bisa membaca bahwa kau tidak baik-baik saja... Apakah Leo berbuat kasar padamu?”
“Tidak.” Saira memejamkan mata, mengusir air mata yang mulai merembes di sana, berusaha agar suaranya terdengar tegar. Tetapi ingatan akan pemerkosaan kasar yang dilakukan Leo kepadanya, dan kemudian ancamannya pada dirinya serta keluarga Andre membuatnya tidak bisa menahan tangisnya, suaranya gemetar ketika berucap, “Aku... aku mungkin tidak bisa ke rumah kaca untuk beberapa waktu...”
“Saira..” Saira bisa membayangkan Andre meringis di sana, “Kau menangis, oh Astaga, dia mengancammu ya?”
“Tidak.. aku tidak apa-apa...” Saira menggeleng-gelengkan kepalanya meskipun dia tahu Andre tidak akan bisa melihatnya, “Aku... aku hanya ingin keadaan tenang dulu, semoga nanti aku bisa kembali ke rumah kaca.”
“Saira, kalau kau tidak tahan lagi, pergilah dari sana, pulanglah kepada kami, kita akan menghadapinya bersama-sama.”
Saira sungguh ingin. Tetapi dia tidak bisa, bayangkan akan ancaman Leo kepada ibu Andre dan adik-adiknya membuat Saira ngeri. Leo akan membuktikan ancamannya, Saira sudah tahu itu ketika pada akhirnya Leo tega memperkosanya.
“Aku tidak bisa Andre.” Dengan perih Saira mengusap air matanya, “Sampaikan salamku buat semuanya ya... aku akan menghubungimu lagi nanti.”
Andre masih memanggil-manggil namanya di seberang sana, tetapi Saira berusaha tidak memperdulikannya, dia menutup teleponnya, lalu menangis, ditenggelamkannya air matanya di bantal, dia menangis sekuat-kuatnya, larut dalam kesedihan dan sakit hatinya.
***
Tidak disadarnya tangisannya itu terdengar ke luar, ke arah Leo yang tanpa sengaja berjalan dari arah ruang kerjanya, melewati belokan lorong di ujung, tempat kamar Saira berada.
Leo langsung tertegun. Terpaku di depan pintu kamar Saira. Tangisan perempuan itu terdengar sangat menyayat hati, membuat siapapun yang mendengarnya perih.
Tiba-tiba saja hati Leo terasa perih, dia berdiri di sana, menunggu lama, sampai kemudian isakan Saira menjadi pelan dan menghilang dalam keheningan.
Gadis itu menangis sampai ketiduran...
Sambil menghela napas, Leo melangkah pergi ke kamarnya.
***
“Kita akan mengadakan pesta.” Kali ini Leo tiba-tiba muncul di ruang makan, tempat Saira sedang mengaduk-aduk sarapan paginya, tidak berselera.
Saira mengerutkan kening, “Pesta?”
“Ya.” Leo mengangkat dagunya, mengamati Saira dengan pandangan mencemooh, “Aku sudah menyewa event organizer untuk mengurus pesta ini, pesta ini kelas atas, biasanya kulakukan untuk menjamu para rekan bisnisku, akan ada banyak tamu dari kalangan atas.” Mata Leo menelusuri tubuh Saira dari ujung kepala ke ujung kaki, “Dan ya ampun, belilah pakaian yang bagus dan berkelas, kau sudah kuberi uang bulanan di kartumu. Jangan sampai kau mempermalukanku di pesta itu.” Gumam Leo, sengaja bersikap kejam, lalu meninggalkan Saira yang ekspresinya seperti habis di tampar.
***
                Leo memang benar, Saira tidak punya baju bagus, dan dia memang tidak berkelas, yang dilakukan Saira hanyalah berkebun, berkutat dengan tanah dan pupuk, mengurusi tanaman yang dicintainya – yang sekarang bahkan tidak bisa disentuhnya.
Saira memang berbeda dari wanita-wanita berkelas yang dikenal oleh Leo. Dengan perasaan pedih dan terhina, Saira menghela napas panjang.
Dilihatnya gaun-gaunnya di dalam lemari, semuanya gaun yang dibeli berdasarkan fungsinya, bukan dari merk ataupun harganya. Dan dia memang tidak punya gaun pesta karena memang dia tidak pernah pergi ke pesta. Ada satu baju pesta berumur lima tahun yang hampir tidak pernah dipakainya, gaun itu berwarna putih dengan hiasan batu berwarna ungu di dada dan pinggangnya, tampak begitu sederhana.
Apakah gaun ini bisa dipakai di pesta yang kata Leo “berkelas’ itu?
Matanya melirik ke arah kartu belanja yang diletakkan Leo di meja riasnya entah kapan. Tergoda untuk memakai kartu itu, berbelanja pakaian yang bagus dan mahal lalu menunjukkan kepada Leo bahwa dia bisa juga tampil berkelas dan Leo tidak bisa mencemoohnya. Tetapi dia lalu menggelengkan kepalanya penuh tekad.
Setidaknya, kalau tidak bisa melawan Leo, dia bisa memberontak dengan hal-hal kecil. Saira tidak akan membeli gaun pesta baru. Biarlah dia  memakai salah satu baju pestanya yang lama, apapun yang akan terjadi nanti, dia akan menghadapinya dengan tegar.
***
Larut malam Leo baru pulang dari kantornya. Lelaki itu baru pulang setelah jam sepuluh malam, hampir setiap harinya. Saira hanya bisa menahan ingin tahunya, benarkah Leo pergi bekerja? Setahunya tidak ada orang yang bekerja dari pagi sampai jam sepuluh malam, hanya orang gila kerja yang melakukannya.
Apakah Leo menghindarinya? Ataukah dia ... menghabiskan waktunya bersama seseorang?
Perasaan cemburu menggayuti hatinya dan membuatnya merasa pilu. Betapa menyedihkannya dirinya. Leo sudah memperlakukannya dengan begitu kejam, tetapi Saira tetap saja masih menyimpan rasa cinta kepada lelaki itu.
Ketika Leo melihat Saira sedang duduk di sofa depan dan membaca sebuah novel yang ditemukannya di rak buku, dia berhenti dan mengernyitkan keningnya,
“Kenapa belum tidur?” tanyanya.
Saira menatap Leo dengan pedih, lalu memalingkan muka, berusaha menyembunyikan ekspresinya,
“Aku sedang membaca buku.”
“Oh.” Leo tampak bingung harus berkata apa, kemudian matanya mengeras lagi, “Apakah kau sudah membeli gaun?, pestanya akhir pekan ini, beberapa hari lagi.”
Saira menghela napas panjang, “Aku akan membelinya.”
“Beli yang paling bagus dan paling mahal. Ingat, jangan mempermalukanku.”
Saira terdiam, hanya menutup punggung Leo yang berlalu meninggalkannya.
Lelaki itu pasti akan marah besar ketika tahu bahwa Saira tidak menuruti perintahnya. Yah.... biarkan saja, biar Leo tahu bahwa Saira bukanlah perempuan lemah yang tidak mampu berbuat apa-apa.
***
Akhir pekan telah tiba, dan seluruh rumah dipenuhi kesibukan yang luar biasa, petugas catering sudah datang dari pagi, dan beberapa petugas lain menyiapkan tempat, dibantu para pegawai Leo yang ada di rumah itu.
Saira hanya mengamati dari jendela kamarnya, melihat banyaknya mobil yang didominasi mobil catering parkir di halaman depan rumah Leo yang luas.
Sepertinya ini benar-benar pesta besar...
Saira mengernyit menatap gaun putih sederhananya yang sudah diseterika oleh pelayan dan dihamparkan di ranjangnya.
Bahkan pelayan tadipun mengernyit ketika dia menerima gaun itu dari Saira untuk disetrika, dan mengetahui bahwa Saira akan mengenakannya untuk ke pesta nanti malam. Tatapannya tampak memprotes, tetapi dia tidak berani menyuarakannya.
Dan sekarang Saira duduk dengan bingung, merasa ragu atas keputusannya menentang Leo. Saira takut dirinya bukan hanya mempermalukan Leo, tetapi mempermalukan dirinya sendiri di pesta ini.
Dengan gugup dia meremas tangannya dan mengamati gaun putih itu sekali lagi. Tetapi mau bagaimana lagi? Sudah terlambat untuk membeli gaun, pestanya akan berlangsung beberapa jam lagi.
***
Leo masuk ke kamar Saira yang tidak dikunci dan mengerutkan keningnya, lelaki itu sudah mengenakan jas malamnya yang sangat bagus dan elegan.
“Kau belum berganti pakaian?” Lelaki itu mengamati Saira yang mengenakan gaun putih sederhana, dengan make-up tipis dan rambut di urai.
Saira melirik gaunnya dengan rasa bersalah, kemudian menatap Leo dan berucap terbata-bata, “Aku mengenakan gaun ini.”
Nyala api langsung muncul di mata Leo, “Kau akan ke pestaku, sebagai isteriku, mengenakan gaun rombengan seperti ini?” Suaranya meninggi setengah berteriak, “Apakah kau tidak membeli gaun seperti yang kuperintahkan?!”
Saira mendongakkan dagunya, mencoba menantang Leo, “Aku merasa cukup pantas mengenakan gaun ini.”
“Cukup pantas kalau kau pergi ke pasar, bergaul bersama orang-orang rendahan,” Tukas Leo dengan kasar, “Ini pestaku, dan akan ada banyak orang kelas atas yang datang, mereka akan mencemooh gaun rombenganmu itu, dan kau akan mempermalukanku karena mereka semua pasti akan mengira aku bahkan tidak mampu membelikan isteriku sebuah gaun!” Lelaki itu maju, begitu dekat dengan Saira, matanya membara, “Jangan-jangan kau memang sengaja begitu ya? Mempermalukanku?”
Saira menggelengkan kepalanya dan melangkah mundur, tiba-tiba merasa takut dengan kemarahan Leo, “Ti.. tidak.. bukan maksudku begitu.. aku hanya merasa gaun ini cukup pantas.”
“Lain kali jangan menggunakan perasaanmu atas dasar selera rendahanmu itu.” Leo mendengus, menatap Saira dengan jiji, “Baiklah, kau sudah terlanjur melakukannya, silahkan permalukan dirimu sendiri, aku tidak akan membantumu!”
***
Ketika memasuki pesta itu, Leo masih berjalan di sampingnya, tetapi hanya sepersekian menit, lelaki itu meninggalkannya sendirian untuk menyalami tamu-tamunya, dan tidak mengajak Saira, seolah-olah dia malu terlihat bersama Saira.
Saira mengamati para tamu yang mulai ramai itu dan merasa sangat malu. Semuanya datang dengan riasan lengkap, gaun yang luar biasa elegan dan perhiasan-perhiasan mahal yang melengkapi penampilannya. Saira tampak seperti seorang pembantu yang salah tempat di sini.
Beberapa orang yang tidak mengenalinya sebagai isteri Leo bahkan memandang sebelah mata padanya, yang lainnya melemparkan tatapan mencemooh seolah dia pelayan yang tak tahu tempat.
Saira beringsut di sudut, merasa bahwa apa yang terpapar di depannya ini bukanlah dunianya. Semuanya terasa asing dan kejam. Tiba-tiba Saira ingin menangis karena merasa begitu sendirian dan terasing.
Matanya mencari-cari dimana Leo, tetapi lelaki itu tampaknya sedang sibuk dan tak memperhatikannya, dia sedang bercakap-cakap dengan segerombolan lelaki dan perempuan berpakaian mewah, dan tampak tertawa-tawa... bahkan ada seorang perempuan mengenakan gaun merah menyala yang sexy dan elegan, bergayut manja di lengan Leo dan lelaki itu membiarkannya.
Lalu seorang perempuan yang berjalan terburu-buru bersama pasangannya berlalu dengan sembrono, dia menabrak Saira yang bahkan sudah berdiri di pinggir dengan keras,
“Aduh!” Perempuan itu berteriak marah karena dia hampir terhuyung jatuh dan terselamatkan karena berpegangan kepada pasangannya, perempuan itu melirik ke arah Saira dan berteriak kesal, “Jangan berdiri seperti orang bodoh disitu, dasar pelayan bodoh!! Tempatmu seharusnya di dapur!”
Wajah Saira pucat pasi ketika semua mata memandang kepadanya, begitupun Leo yang sedang bercengkerama dengan teman-temannya.
Mata Saira mulai berkaca-kaca, dan dia mengangguk untuk meminta maaf.
“Maafkan saya.” Padahal seharusnya dia tidak perlu meminta maaf, perempuan itulah yang menabraknya.
“Maaf... maaf! Aku akan melaporkanmu pada pemilik rumah ini karena kau seenaknya berkeliaran di pesta majikanmu...kau..”
“Dialah sang majikan, Christa.” Tiba-tiba suara Leo terdengar tenang, “Perkenalkan ini Saira isteriku.”
Entah kapan Leo sudah melangkah dan tiba-tiba ada di sebelah Saira, lalu mengaitkan lengannya di lengan Saira.
Wajah perempuan yang dipanggil Christa itu tampak memucat, mulutnya menganga, memandang Leo dan Saira berganti-ganti dengan tak percaya.
“Isterimu...?” gumamnya tercekat.
Leo menganggukkan kepalanya dan tersenyum datar, “Ya, isteriku. Aku maklum kau tidak mengenalinya, di pesta pernikahan kemarin dia berdandan dan mengenakan gaun pengantin.”
Seolah masih enggan percaya, Christa menatap Saira dengan teliti, dia lalu menatap Leo dengan gugup,
“Oh oke. Aku benar-benar tidak tahu.” Gumamnya setengah malu, lalu dia menganggukkan kepalanya dan menggandeng pasangannya, buru-buru berlalu.
Saira menunggu sampai Christa dan pasangannya menjauh, lalu berbisik lirih kepada Leo.
“Maafkan aku Leo, aku...”
“Puas sekarang? Kalau kau memang ingin mempermalukanku, selamat. Kau sudah berhasil.” Leo menyela kata-kara Saira dengan dingin.
Ketika Leo hendak meninggalkan Saira, perempuan berpakaian merah menyala itu, yang tadi bergayut dengan manja di lengan Leo, ternyata sudah berdiri di depannya, menghalangi langkahnya.
“Jadi ini isterimu, Leo? Aku sudah sangat penasaran terhadapnya ketika mendengar pernikahanmu yang sangat buru-buru. Kenapa kau tadi tidak memperkenalkannya kepada kami?” seketika itu juga kumpulan teman-teman Leo sepertinya sudah ada di sekeliling mereka.
“Saira sedang tidak enak badan, dia sebenarnya tidak berencana menghadiri pesta ini, benar kan sayang?” Kata-kata Leo lembut dan mesra, tetapi lelaki itu menatap Saira dengan pandangan penuh peringatan, “Bukankah kau bilang kau ingin naik saja dan beristirahat?”
Saira menganggukkan kepalanya dengan sedih, “Baik, Leo, aku akan beristirahat di atas.”
“Hati-hati ya.” Leo berbicara dengan kelembutan yang sama, yang dulu pernah dipakainya untuk menipu Saira, tetapi kali ini bedanya Saira sudah tahu kalau itu semua palsu.
Dengan perasaan malu dan terhina, Saira melangkah menaiki tangga menuju kamarnya. Dia telah diusir dari pesta milik suaminya sendiri.
Telinganya mendengar tawa gembira yang menyakitkan, dan ketika dia melirik dari sudut matanya, tampak Leo sudah berbicara sambil tertawa lagi dengan beberapa orang yang mengelilinginya, perempuan cantik berbaju merah itu sudah kembali menggayut manja di lengannya.
Saira menghela napas sedih dan mempercepat langkah memasuki kamarnya. Dibantingnya tubuhnya ke atas ranjang, dan seperti kebiasaannya akhir-akhir ini, Saira menangis dengan penuh kepedihan.
Diluar sana pesta berlangsung meriah, penuh musik yang ceria dan percakapan yang penuh canda. Di dalam sini, di kamarnya, Saira terisak penuh air mata, sendirian dan tidak punya siapa-siapa.
***
Hampir lewat tengah malam, ketika pesta itu dan semua kesibukan untum membereskannya usai, Leo dengan hati-hati membuka pintu kamar Saira yang tidak dikunci.
Kamar itu gelap dan temaram, tetapi di tengah ranjang, di bawah sinar bulan yang remang-remang masuk melalui bagian kaca di atas jendela, Leo bisa melihat dengan jelas tubuh Saira yang terbaring telungkup di atas ranjang.
Dengan pelan, mencoba tidak bersuara, Leo menarik kursi dan mendekatkannya di pinggiran ranjang, dia duduk di sana, dengan tubuh setengah membungkuk, tangan bertumpu pada sikunya, dan mata menatap nanar ke arah Saira.
Dengan bantuan cahaya bulan, dia bisa melihat wajah Saira yang miring ke arahnya, dan dia bisa mengetahui, ada bekas air mata yang kering di pipinya. Sekali lagi, Saira menangis lagi sampai tertidur.
Hati Leo terasa sakit. Semula dia berpikir bahwa menyakiti Saira terus dan terus, membuatnya menangis sepanjang waktu sampai kemudian hampir gila akan memuaskan hatinya yang sakit dan penuh dendam. Akan membuatnya bisa menghilangkan rasa seperti luka menganga ketika menatap kondisi Leanna yang menyedihkan.
Tetapi ternyata tidak, yang muncul adalah kesakitan yang baru. Rasa seperti dadanya diremas ketika melihat keadaan Saira seperti sekarang ini. Sedih karena kelakukannya.
Leo begitu larut dalam usahanya membalas dendam sehingga dia lupa membatasi hatinya sendiri. Pesona dan kebaikan Saira telah menyentuh nuraninya yang paling dalam, membuat jiwanya berperang.
Saira dan Leanna. Apakah Leo harus memilih? Bukankah pada akhirnya siapapun yang akan Leo pilih, dia tetap saja telah melakukan sebuah pengkhianatan besar?
***
Hampir dua bulan berlalu, dan pernikahan itu terasa semakin dingin hingga membuat menggigil, Leo hampir tidak pernah pulang ke rumah. Saira bahkan hampir tidak pernah bertemu dengan suaminya.
Saira amat sangat merindukan rumah kacanya, dia sudah berusaha menunggu supaya suasana hati Leo baik dan kemudian dia bisa membahas tentang rumah kaca itu lagi. Tetapi suasana hati Leo tampaknya tidak pernah baik. Dalam pertemuan singkat mereka di kala sarapan pagi, kalau Leo sedang tidur di rumah, lelaki itu selalu memasag tampang cemberut yang tidak menyenangkan.
Saira beberapa kali tergoda untuk kabur ke rumah kacanya, apalagi Andre yang selalu meneleponnya setiap malam dan menghiburnya menceritakan bahwa beberapa varietas bunga yang mereka kembangkan telah mekar dengan wanginya dan begitu indah warnanya.
Saira rindu berada di sana, amat sangat merindu sampai ingin menangis setiap dia berusaha menahan dorongannya untuk pergi dari rumah ini. Para pegawai rumah ini mengawasinya, Saira tahu pasti. Mereka tidak akan segan-segan mengangkat telepon dan memberitahu Leo kalau dia sekali saja melewati gerbang itu dengan sembrono. Lagi pula gerbang itu dijaga dua pegawai Leo yang sudah pasti tidak akan membiarkannya keluar, kalau dia tidak memakai mobil dan sopir yang disediakan oleh Leo. Mobil dan supir itu sama saja, Leo pasti sudah menginstruksikannya untuk selalu mengawasi Saira. Saira hanya bisa keluar kalau dia berbelanja ke supermarket atau ke tempat-tempat umum, dengan supir itu terus mengikuti dan mengawasinya. Dia sama saja terpenjara di balik pagar rumah yang mewah ini.
Pagi itu, Leo sedang sarapan dengan wajah dinginnya seperti biasa. Saira dengan langkah pelan, berusaha memberanikan diri mendekatinya. Mereka sudah jarang sekali berbicara akhir-akhir ini. Setelah pesta itu, Leo bisa dikatakan hampir mengabaikan Saira. Kalaupun mereka bercakap-cakap itu hanyalah berupa kalimat-kalimat singkat yang ketus dari Leo.
“Aku ingin ke rumah kaca.” Saira segera berkata ketika melihat Leo sudah menyelesaikan makannya.
Leo mengelap mulutnya dengan serbet dan menatap Saira dengan dingin,
“Bukankah aku sudah bilang kau tidak boleh mengunjungi rumah kaca itu lagi?”
“Tapi itu bisnisku, usaha yang aku bangun dari awal, dan rumah kaca itu hampir seperti hidupku...”
“Kau tidak butuh membangun bisnis apapun, aku bisa menghidupimu dengan berlebih, berikan semua kepada Andre. Mengenai rumah kaca itu, aku tidak peduli.”
Oh ya ampun!” Saira berdiri menatap Leo dengan pedih, “Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku? Kau ingin aku pada akhirnya bunuh diri karena frustrasi ya? Itu yang kau inginkan? Aku tidak tahu kebencian dari mana yang mendorongmu Leo, tetapi kau telah melakukan perbuatan keji, menggunakan pernikahan ini untuk menjebak seseorang..... dan sengaja membuatku menderita hanya..”
“Apa yang kau ketahui tentang menderita?” Leo berdiri dengan marah, menghampiri Saira, “Apa yang kau tahu hah? Kau selalu hidup dalam limpahan kasih sayang! Semua orang menyayangimu dan menjagamu dalam duniamu yang manis dan indah, kau bahkan tidak perlu mengemis kasih sayang siapapun! Tidak seperti kami!”
Saira menatap Leo dengan terkejut, Apa yang dikatakan Leo kepadanya tadi? Kenapa Leo membandingkan kasih sayang yang diperoleh dari orangtuanya? Dan kenapa dia menyebut ‘kami’ ? siapakah ‘kami’ yang Leo maksud itu?
Leo sendiri tampak begitu marah dan menakutkan, dia memegang kedua lengan Saira dengan keras,
“Aku ingin kau merasakan apa itu penderitaan, bagaimana rasanya kau terus menerus ditolak dan disakiti oleh orang yang kau cintai! Aku ingin kau merasakannya!” dalam kemarahannya, Leo mengguncang-guncang lengan Saira dengan keras, membuat kepalanya pusing.
Pusing itu makin menjadi ketika perutnya bergolak dan membuatnya mual luar biasa, Saira tidak bisa menahan muntahnya.
Dia mendorong Leo sekuat tenaga, lalu berlari ke arah wastafel yang berada di kamar mandi yang berhubungan dengan ruang makan itu, dengan dorongan sepenuhnya dari mulutnya, dia muntah-muntah hebat, memuntahkan seluruh isi sarapannya.
Ketika dia selesai, dengan terengah-engah dia menyalakan kerannya, dan membasuh mukanya. Didongakkannya kepalanya, dan dari cermin di hadapannya, dia melihat Leo berdiri di belakangnya dengan wajah pucat pasi.
Mata mereka bertatapan dan ingatan mereka langsung berpadu ke malam itu, malam dimana Leo memperkosa Saira dengan kejam... tanpa pengaman apapun.
Tanggalnya pas, semuanya tepat.. Saira mulai gemetaran, menatap Leo dengan meringis perih.
Akhirnya kata-kata itu keluar dari bibir Leo, dia menatap Saira dengan sama shocknya, suaranya tampak tercekat ketika dia berkata,
“Kau... hamil ya?”


Sumber :
http://www.anakcantikspot.blogspot.com/2013/03/pembunuh-cahaya-part-6_18.html

0 komentar:

Posting Komentar

 

De_windows © 2008. Template Design By: SkinCorner