Pembunuh Cahaya Part 8
Leo
berdiri terpaku dan bingung ketika ditinggalkan oleh Saira. Perceraian. Pada
akhirnya Saira pasti akan mengajukan itu kepadanya, dan dia tahu itu akan
terjadi. Dia bahkan sudah merencanakan perceraian yang menyakitkan untuk Saira.
Tetapi
sekarang dia tidak mungkin menerima perceraian itu, Demi Tuhan, Saira sedang
mengandung anaknya, dan perempuan itu dengan mudahnya mengatakan bahwa dia
menginginkan perceraian. Mau dia bawa kemana anak Leo nanti? Apakah dia akan
lari ke pelukan Andre dan kemudian menjadiakan Andre ayah dari anaknya?
Leo
meringis dengan marah. Tidak! Tidak akan Leo biarkan Saira lari kembali
ke pelukan Andre. Selama ini dia sudah menahan kebencian kepada lelaki itu,
Andre, lelaki yang terlalu dekat dengan Saira. Dia tidak akan mengizinkan
anaknya yang sekarang ada di perut Saira berdekatan dengan Andre.
Leo
akan mempertahankan Saira dan anaknya mati-matian agar selalu berada di sampingnya.
***
“Jadi
kau akan pergi?”
Andre
terdengar bersemangat ketika malam itu Saira meneleponnya, Saira menghela napas
panjang dan tanpa sadar menganggukkan kepalanya, lupa kalau Andre tidak bisa
melihatnya.
“Saira?”
Andre bertanya lagi menunggu jawaban Saira.
“Ya
Andre, aku akan pergi.” Saira cepat-cepat menjawab.
“Kapan?”
“Aku
tidak tahu, aku akan mencari cara melarikan diri dari supir yang diperintahkan
oleh Leo untuk selalu mengawasiku.” Gumam Saira pelan, takut terdengar dari
luar.
Andre
tampak berpikir di seberang sana, “Leo pasti akan langsung mengejarmu kemari,
ke rumah kaca dan ke rumahku.” Suaranya berubah serius, “Kau tidak boleh pulang
kemari, aku akan mencarikan tempat untukmu bersembunyi, tempat yang tidak
diketahui oleh Leo.”
Saira
memikirkan perkataan Andre dan tiba-tiba merasa takut ketika mengingat ancaman
Leo kepada keluarga Andre,
“Aku
takut Andre.” Gumamnya pelan, mulai ragu.
“Takut
apa?”
“Leo...”
suara Saira tercekat, “Leo pernah mengancam, kalau aku sampai melarikan diri
atau menemuimu, dia akan menjadikan kau sasarannya, kau, mamamu dan kedua
adikmu, dia akan menyerang mereka. Aku takut dia akan melaksanakan ancamannya
dan melukai kalian.” Bisik Saira gemetar.
“Kami
bisa menjaga diri kami sendiri.” Andre bergumam dengan suara tegas, “Jangan
pikirkan itu, Saira, kau harus memikirkan dirimu dan anakmu. Leo memang
berkuasa, tetapi dia tidak bisa berbuat semena-mena dan melukai kita. Aku akan
menghadapinya.” Sambung Andre dengan yakin.
Saira
memejamkan matanya berusaha meredakan ketakutanya. “Semoga Andre... semoga
semua baik-baik saja. Aku akan mencari cara untuk pergi dari rumah ini,
segera.”
“Kau
harus benar-benar memikirkannya segera Saira. Tingalkan saja Leo!”
Saira
mendesah, “Kau tahu aku masih mencintainya...”
“Bukankah
kau takut padanya? Katamu dia pria kejam yang tidak segan-segan berbuat apapun
untuk melaksanakan maksudnya.”
“Ya..aku
tahu, aku memang takut kepadanya, aku ketakutan ketika dia mengancammu dan
keluargamu... entah kenapa jauh di dalam hatiku aku selalu berharap bahwa Leo
tidak sejahat itu.”
“Itu
hanya harapan karena hatimu dilemahkan oleh cinta.” Andre tampak jengkel.
“Cinta membuat matamu berkabut, membuatmu merasa bahwa masih ada kebaikan di
benak Leo, padahal dia sangat kejam, banyak buktinya bukan? Kekejamannya dalam
pernikahanmu, sikap kasarnya, siapa yang tahu apa yang dilakukannya untuk
menyakitimu?”
“Entahlah
Andre.” Saira mulai merasa lelah,
Tetapi
Andre tidak membiarkannya, “Leo itu kejam, Saira. Sangat kejam. Cepat atau
lambat kau harus menyadari bahwa dia adalah pria yang jahat. Dan aku harus
menyadarinya sebelum semuanya terlambat.”
***
Sementara
itu, tanpa Saira sadari, Leo tengah berdiri di ambang pintu kamar yang terbuka
sedikit, Tadi Leo memutuskan untuk menemui Saira dan berkompromi demi anak
mereka, dia akan meminta maaf kepada Saira dan membuat Saira mau tinggal dan
mempertahankan pernikahan mereka.
Tetapi
ketika baru sedikit membuka pintu kamar Saira, dia mendengar percakapan itu,
rencana melarikan diri Saira yang disusunnya bersama Andre.
Leo
meradang, panas oleh kemarahan yang tidak dia sadari oleh karena apa. Berani-beraninya
Saira merancang cara untuk pergi darinya dan tidak menghiraukan ancamannya?
Dan juga perempuan itu menyusun rencananya dengan Andre? Apakah kecurigaannya
benar? Bahwa Andre dan Saira sebenarnya menjalin hubungan lebih? Saira memang
pernah mengatakan bahwa Andre adalah gay, tetapi Leo tidak mungkin percaya
begitu saja. Apalagi dengan kenyataan di depannya bahwa Saira selalu
menghubungi Andre diam-diam seolah-olah tidak bisa lepas darinya.
Dada
Leo terasa panas. Dia harus melakukan sesuatu untuk memberi peringatan
kepada pasangan itu!
***
Hampir
dini hari ketika ponsel Saira terus menerus berbunyi, tidak mau menyerah sampai
Saira terbangun dan membuka mata.
Saira
masih mengantuk, dia membuka matanya dengan lemah, dan meraba-raba ponselnya
yang terus berbunyi dengan berisik, tanpa melihat siapa yang menelepon, Saira
mengangkatnya sambil masih memejamkan matanya,
“Halo?”
suaranya serak, tertelan oleh kantuk.
“Saira!” itu suara Andre,
terdengar panik dan bingung, di belakangnya tampak riuh rendah suara manusia,
“Rumah kaca... rumahmu... terbakar!”
Kata-kata
itu sanggup membangunkan Saira begitu saja, bagaikan guyuran air es yang
menyiramnya langsung, dia terduduk dengan pandangan nanar, “Apa?”
“Rumahmu
terbakar, kami sedang berusaha memadamkannya dengan swadaya sambil menunggu
petugas pemadam kebakaran...” napas Andre tampak terengah, “Apinya.. apinya
sangat besar.”
“Oh
Tuhan...” Saira membayangkan tanaman-tanaman kesayangan mamanya, yang
dirawatnya dengan penuh cinta seperti anaknya sendiri, dan seperti anak Saira
sendiri pula, dia membayangkan api yang melalapnya dan wajahnya pucat pasi.
“Aku..
aku akan kesana,” dengan panik Saira berdiri, merasakan perutnya sakit seperti
di remas, tetapi dia berusaha mengabaikannya, dengan panik dia mencari-cari
jaketnya dan memakainya, kemudian dia melangkah keluar hampir menangis.
Dia
bingung harus bagaimana. Rumah besar ini tampak sunyi senyap, tanpa suara.
Tetapi Saira begitu panik, dia kemudian memberanikan diri dan mengetuk pintu
kamar Leo, semula tidak ada jawaban sehingga Saira mengubah ketukannya menjadi
gedoran, sambil memanggil-manggil nama Leo,
Pintu
terbuka tak lama kemudian, dan Leo yang sepertinya baru bangun tidur dengan
rambut acak-acakan, membuka pintu dengan wajah cemberut, “Ada apa?” gumamnya
ketus, tetapi kemudian ekspresinya berubah ketika melihat Saira menangis dengan
tubuh gemetaran, dipegangnya kedua pundak Saira menahan gemetaran gadis itu, “Ada
apa Saira?” suaranya berubah cemas.
Saira
mengangkat kepalanya dan menatap Leo dengan tatapan penuh permohonan, “Rumah
kaca... “ gumamnya serak penuh tangis, “Rumah kaca terbakar... kebakaran...”
Leo
mengerutkan keningnya, tetapi kemudian berhasil menarik kesimpulan. Dia
langsung memutuskan,
“Tunggu
di sini. Aku akan segera mengantarmu ke sana.”
Hanya
dalam hitungan menit, Leo sudah kembali dan tampak rapi, lelaki itu lalu
menggandeng Saira, melangkah cepat ke mobil, dan melajukannya dengan segera,
menuju rumah Saira.
***
Mereka
berdua sama-sama tertegun ketika mobil sudah mendekati rumah Saira. Api melahap
dengan begitu besar, menimbulkan cahaya orange yang mengerikan. Hawa panas
tersebar di sana, dan asap hitam membumbung ke langit. Sementara itu banyak
orang berkumpul di sana, sebagaian hanya menonton dari kejauhan, sebagian
tampak berusaha memadamkan api itu dengan swadaya. Mobil pemadam kebakaran
sepertinya baru saja datang, dengan selang besarnya dan air yang memancar.
Tetapi
sepertinya semua sudah terlambat, tidak ada lagi apapun yang tersisa untuk
diselamatkan. Rumah Saira, rumah peninggalan ibunya, tempat semua kenangan masa
kecilnya, sudah hancur dan hangus. Sementara itu yang tersisa dari rumah
kacanya hanyalah kerangka bajanya yang masih berdiri tegak. Yang tertinggal
hanyalah api dan kehangusan.
Saira
masih tertegun shock, sehingga membiarkan dirinya berada dalam rangkulan
Leo, yang juga menatap api itu dengan tertegun.
Tak
lama kemudian, Andre datang berlari-lari menghampiri mereka, dia tampak
berkeringat dan coreng moreng oleh noda hitam hangus di pipinya,
“Saira!”
Andre berseru hanya menatap Saira dan sepenuhnya mengabaikan Leo, tampak sangat
menyesal, “Kami sudah berusaha memadamkannya, tetapi pemadam kebakaran
terlambat datang karena kemacetan dan....Saira?” Andre bergumam panik
ketika melihat tubuh Saira oleng dan jatuh, dia hampir menopang Saira, tetapi
kemudian tertahan oleh Leo.
Lelaki
itu menopang Saira ke dalam pelukannya dan melemparkan tatapan tajam kepada
Andre,
“Biar
aku saja.” Gumamnya dingin sambil menatap Andre dengan tatapan mengancam.
Andre
masih tertegun menerima tatapan membunuh dari Leo, dan mengamati lelaki itu
membopong Saira yang pingsan kembali ke mobil.
***
“Sayang...
bangunlah...” suara itu terdengar berbisik terus menerus di telinganya, dan
kemudian ada harum aroma wewangian di hidungnya.
Saira
menggeliat dan berusaha membuka mata, melepaskan diri dari kegelapan yang
menelannya.
Ketika
dia membuka mata, dia langsung berhadapan dengan Leo. Saira langsung mengernyitkan
keningnya. Apakah Leo yang memanggilnya dengan sebutan ’sayang’ tadi?
Ataukah dia hanya bermimpi?
“Kau
pingsan tadi, apakah kau baik-baik saja?” tanya Leo pelan. Saira rupanya telah
dibaringkan di kursi belakang mobilnya.
Dengan
gugup Saira duduk, dan kemudian melemparkan pandangannya ke arah rumahnya, api
sudah padam dan sekarang tinggal asap hitam sisa siraman air yang mengepul ke
atas. Hatinya terasa perih dan teriris. Sedih luar biasa. Seakan semua
kenangannya dihapuskan paksa oleh kebakaran itu.
Dengan
sedih dia menahankan air mata yang mulai merembes di matanya, “Aku tidak
apa-apa.” Gumamnya serak.
Leo
menghela napas, tampak lega, “Bagaimana dengan perutmu? Kondisi bayimu? Kau
tidak merasakan sakit?”
Saira
meraba perutnya, memang terasa sedikit kram, tetapi itu mungkin karena Saira
sedang tegang, dia lalu menggelengkan kepalanya,
Ada
kelegaan di mata Leo, lelaki itu kemudian menoleh dan menatap ke arah kebakaran
dan mengernyit, “Apakah kau ingin membereskan urusan ini sekarang? Kau tahu,
urusan laporan dengan polisi, asuransi dan lain-lain? Atau kau ingin pulang
dulu dan mengurus ini besok?”
Pulang. Saira termangu menatap
rumahnya yang sudah hangus. Dulu rumah ini adalah tempatnya pulang. Sekarang
semua sudah tidak ada lagi.... apakah rumah Leo sekarang menjadi tempatnya
pulang?
Saira
menatap Leo, dan ingin menanyakan keberadaan Andre, tadi dia ingat sedang
berbicara dengan Andre sebelum dia pingsan. Tetapi kemudian dia mengurungkan
niatnya. Leo tampaknya sedang tenang dan Saira tidak ingin mengusiknya dengan
mengatakan bahwa dia ingin berbicara dengan Andre.
“Ya
Leo... kita pulang saja.”
“Oke.”
Leo mengambil bantal di jok belakang dan meletakkannya di belakang Saira, “Kau
berbaring saja di sana.” Lelaki itu lalu menutup pintu mobil dan masuk ke
belakang kemudi, melajukan mobilnya tanpa kata-kata.
Sementara
itu Andre mengamati dari kejauhan mobil Leo yang beranjak pergi membawa Saira
dengan dahi berkerut gusar.
***
Ketika
mereka sampai ke rumah, pagi sudah menjelang karena matahari sudah mengintip di
kaki langit, menampakkan semburat kuning yang memecah kegelapan langit.
Leo
memarkir mobilnya di depan dan membukakan pintu belakang untuk Saira, membuat
Saira yang tertidur selama perjalanan langsung terbangun, Saira meskipun
mengantuk, sudah mau turun dan berdiri ketika kemudian tanpa kata Leo
mengangkat Saira ke dalam gendongannya dan membawanya masuk ke dalam rumah.
Hampir
saja Saira tertidur kembali ketika terayun-ayun dalam gendongan Leo menaiki
tangga. Dan kemudian mereka sampai di kamar Saira.
Leo
melangkah pelan dan membaringkan Saira dengan lembut di atas ranjang. Saira
yang masih mengantuk langsung memiringkan tubuhnya dengan nyaman.
Dia
mungkin bermimpi karena dia merasakan kecupan lembut di keningnya, sebelum
langkah-langkah kaki Leo berlalu dan meninggalkan kamar itu.
***
Ketika
Saira terbangun di pagi hari, dia masih memikirkan semua memorinya. Dadanya
langsung terasa sakit ketika teringat kebakaran itu. Dia menghela napas
panjang, berusaha meredakan rasa sesak di dadanya. Ketika itulah tiba-tiba
ponselnya berbunyi, membuatnya terkejut. Dia langsung mengangkatnya ketika
mengetahui bahwa yang meneleponnya adalah Andre. Kemarin mereka meninggalkan
tempat itu begitu saja, Andre pasti cemas.
Saira
mengangkatnya dengan suara lemah,
“Andre?”
“Bagaimana
keadaanmu Saira?”
Saira
menelan ludahnya dengan pahit, “Aku baik-baik saja.” Dia mendesah pelan dalam
kesedihan, “Tidak ada yang tersisa ya?”
Hening
sejenak, lalu Andre berkata, “Maafkan aku....”
Saira
menyusut air mata di sudut matanya, sekali lagi menghela napas panjang,
meredakan napasnya yang sesak. Sekarang dia tidak punya tempat lagi untuk
pulang, rumah tempat kenangannya, tempat dia bisa menumpahkan segala
kebahagiaannya di rumah kaca itu telah tiada. Semuanya sudah musnah.
“Saira...
kau masih di san?” Andre bertanya dengan ragu, menggugah Saira dari
lamunannnya.
“Aku
masih di sini Andre.” Gumam Saira cepat, “Kenapa?”
Andre
tampak merenung, “Apakah kau pikir kebakaran ini tidak kebetulan?”
“Apa
maksudmu?”
“Katamu
kemarin kau meminta perceraian dari Leo, dan kemudian malam harinya rumahmu
terbakar? Apakah kau pikir Leo tidak terlibat dalam hal ini? Karena dari sudut
pandangku, ini semua tampaknya terlalu kebetulan.”
Saira
tertegun, wajahnya pucat pasi. Leo? Apakah benar yang dikatakan oleh
Andre? Bahwa Leo adalah dalang dari kebakaran rumahnya? Bahwa ini semua
bukanlah musibah atau kecelakaan biasa? Apakah Leo sekejam itu?
Saira
masih teringat jelas betapa lembutnya Leo ketika menggendongnya tadi...... Leo...
tampaknya kehamilannya telah membuat hati Leo melembut. Mungkinkah Leo tega
melakukan itu semua?
“Aku
pikir Leo pasti pelakunya, Saira. Waktunya terlalu bertepatan. Dan dia pernah
mengancammu akan melakukan segalanya bukan?” Andre masih bergumam di seberang sana.
“Aku
tidak tahu Andre...” Saira menelan ludahnya, “Sungguh aku tidak tahu.”
“Kau
tidak boleh melemah dan kalah dari Leo, Saira. Kalau kau menyerah, maka dia
berhasil melaksanakan maksudnya. Dia pasti membakar rumahmu, aku yakin itu,
agar kau tidak punya tempat untuk pulang dan melarikan diri. Kau tidak boleh
menyerah Saira. Tanpa rumahpun, aku masih bisa membantumu melarikan diri dari
rumah itu. Oke?”
Saira
bimbang dan bingung, dia hanya bisa meringis menahan kekalutannya.
Dia
masih tidak percaya Leo sekejam itu, membakar rumah kaca dan rumahnya?
Benarkah itu? Benarkah Leo sekejam itu?”
***
Leo
masih merenung di kamarnya pagi itu, dia ingin menengok Saira, tetapi dia ragu.
Semalam, mendampingi Saira melihat rumah itu terbakar, kemudian menopang ketika
Saira pingsan telah menggugah sesuatu di dalam dirinya.
Sesuatu itu adalah rasa ingin melindungi dan menjaga Saira dan anaknya.
Seharusnya
tidak seperti ini.... Leo meremas rambutnya sendiri dengan bingung. Seharusnya
bukan seperti ini... Tetapi Leo telah kalah dengan perasaannya sendiri.
Pada
akhirnya dia harus menyerah kalah dan mengakui bahwa dia mencintai Saira. Leo
telah menipu dirinya sendiri dengan mengatakan pada hatinya bahwa semua demi
pembalasan dendamnya. Kenyataannya, dia mengejar dan menikahi Saira karena
dia mencintainya.
***
Saira
berpapasan dengan Leo ketika hendak berjalan ke ruang duduk, mereka berdiri dan
bertatapan dengan canggung,
“Bagaimana
keadaanmu?” Akhirnya Leo yang memulai percakapan, menatap Saira dari ujung kaki
ke ujung kepala, menilainya.
Saira
mengalihkan matanya dari tatapan Leo yang tajam, “Aku baik-baik saja.”
Benak
Saira masih dipenuhi oleh pemikiran itu, pemikiran bahwa mungkin saja Leo
adalah otak dibalik terbakarnya rumahnya. Bahwa Leo sangat kejam dan jahat
kepadanya. Pemikiran itu menyakiti hatinya lebih daripada yang dia sangka.
Karena Saira masih sangat mencintai Leo. Amat sangat mencintai lelaki itu..
“Polisi
mungkin akan datang kemari menanyakan beberapa pertanyaan, yah karena kau adalah
pemilik rumah itu, aku harap kondisimu cukup baik untuk menerima mereka.”
Saira
menganggukkan kepalanya, “Aku baik-baik saja.” Dia merenung dengan sedih. Apa
yang akan terjadi kalau dia mengungkapkan kecurigaannya kepada Leo ke polisi? Akankah
polisi membantunya?
Tetapi
menilik sikap Leo yang begitu tenang itu, Saira jadi berpikir bahwa Leo tentu
sudah menyiapkan segalanya, Lelaki itu sangat pandai, jadi dia pasti bisa
mengatur agar dia tidak ketahuan sebagai dalang kebakaran itu. Tidak ada
gunanya memberitahu polisi, karena dia pasti akan terlihat seperti orang bodoh,
seorang istri yang menuduh suaminya sendiri.
***
Polisi
itu sudah pulang setelah mengumpulkan data-data. Tidak banyak yang mereka
tanyakan karena memang Saira sudah tidak meninggali rumah itu setelah mereka
menikah.
Setelah
mengantar kepergian polisi itu, Leo menatap Saira dengan tatapan datar,
“Kau
boleh membangun rumah kaca di sini.”
Saira
tertegun, tidak menyangka kalimat itu akan keluar dari bibir Leo, dia menatap
mata Leo, mencari tanda-tanda bahwa Leo sedang bercanda dengan kejam padanya,
tetapi mata Leo tampak tulus menatapnya,
“Apa?”
Saira tidak bisa menahan diri untuk bertanya ulang, mencoba meyakinkan diri
sendiri bahwa Leo tidak bercanda.
Leo
berdehem seolah-olah mengucapkan kata-kata itu sangat sulit baginya,
“Aku
tahu bahwa kau sangat menyayangi tanaman-tanamanmu, dan kehilangannya pasti
akan membuatmu terpukul, aku tidak mau kau berlarut-larut dalam kesedihan dan
akan mempengaruhi kondisimu, dan juga bayimu. Besok aku akan mengirimkan orang
untuk membangun rumah kaca di taman belakang untukmu. Taman belakang cukup luas
untuk sebuah rumah kaca. Setelah rumah kaca itu selesai dibangun, kau bisa
mengisinya dengan berbagai varietas tanaman kesukaanmu.”
Saira
menatap Leo dalam-dalam dan menemukan keseriusan di sana, lelaki itu tidak
sedang bercanda rupanya, “Kau tidak perlu melakukannya untukku.” Saira bergumam
lemah meskipun perkataan Leo membuat hatinya tersentuh.
Leo
tersenyum lembut, senyum lembut pertamanya setelah entah kapan, Saira sudah
tidak bisa mengingatnya lagi, karena setelah pernikahan mereka, Leo hampir
tidak pernah tersenyum kepadanya.
“Aku
tidak repot kok.” Lelaki itu lalu berlalu meninggalkan Saira dengan sejuta
pertanyaan berkecamuk di benaknya.
***
Leo
tidak main-main dengan perkataannya. Keesokan harinya ketika Leo sudah
berangkat kerja dan Saira sedang duduk di taman memandangi keindahannya dan
kemudian tanpa sengata mengingat lagi akan rumah kacanya yang hangus,
membuatnya merasa sedih, beberapa pekerja tiba-tiba datang, mereka bekerja
dengan cepat dan sangat berpengalaman, sehingga ketika tengah hari Saira
mengintip lagi, seluruh pondasi dan konstruksi rangka rumah kaca itu sudah
jadi.
Jantung
Saira berdebar, karena rumah kaca itu, dilihat dari rangkanya, jauh lebih besar
daripada rumah kaca miliknya yang sudah hangus itu, tentu saja mengingat area
taman belakang Leo berkali-kali lebih luas dari area kebun di rumahnya yang
terbatas.
Saira
membayangkan dia akan mengisi rumah kaca itu dengan berbagai varietas
yang unik, membangun lagi keindahan tanaman dan koleksi bunganya yang hilang,
memulai lagi sedikit demi sedikit...
Tiba-tiba
Saira mengernyitkan keningnya ketika menyadari sesuatu.... kalau itu benar
terjadi, berarti dia harus tinggal lama di rumah Leo, rumah kaca ini seolah
menjadi pengikatnya dengan Leo.
Apakah
itu memang yang direncanakan oleh Leo? Karena itukah lelaki itu membakar rumah
kacanya? Supaya dia bisa mengingat Saira dengan rumah kaca barunya? Supaya
Saira tidak bisa pergi lagi dari rumah ini?
Jadi
itu semua bukan karena kebaikan hati Leo atau karena lelaki itu mencemaskannya?
Jantung
Saira berdenyut kembali dengan pedih, entah sejak berapa lama, dia mengharapkan
Leo melakukan sesuatu karena lelaki itu benar-benar mempedulikannya, bukan
karena ada rencana keji di baliknya.
***
Leo
mengunjungi Leanna lagi hari itu karena kepala pelayannya menelepon dan
mengatakan Leanna mengamuk, tidak mau makan dan tidak mau meminum obatnya. Hal
itu membuat Leo merasa cemas dan dengan bergegas dia mengunjungi rumah tempat
Leanna berada.
Ketika
dia membuka pintu kamar Leanna, Leo mengernyit, kamar itu berantakan dengan
segala barang berhamburan di lantai dan di mana saja, bahkan selimut dan bed
cover ranjang juga tergeletak begitu saja di lantai, spreipun
kondisinya sama menyedihkannya, seluruh sisinya sudah terlepas dari ranjang,
menyisakan bagian kecil di tengah ranjang yang belum lepas, bagian kecil itu
sekarang sedang ditiduri oleh Leanna yang meringkuk dan menangis seperti anak
kecil.
Dengan
hati-hati, Leo duduk di tepi ranjang Leanna, mengelus rambut adik kembarnya
dengan pelan, berusaha selembut mungkin agar tidak mengejutkan adiknya.
Leanna
sepertinya menyadari kehadiran Leo karena perempuan itu menangis semakin keras.
“Sayang...
kenapa? Kenapa kau menangis terus dan tidak mau makan?” Leo bertanya dengan
cemas. Tetapi tidak ada tanggapan dari Leanna, perempuan itu makin meringkukkan
tubuhnya dan menangis tersedu-sedu, membuat perasaan leo semakin perih.
Leo
menatap adiknya dengan perasaan sedih. Melihat kondisi Leanna ini membuat rasa
bersalahnya semakin menjadi-jadi. Apalagi sekarang, ketika dia memutuskan untuk
menyayangi Saira dan tidak mencoba menahan perasaannya lagi kepada isterinya
itu, Leo merasa seperti menjadi pengkhianat paling buruk di dunia.
“Bakar....
bakar habis. Dia bilang bakar sampai habis..” Tiba-tiba Leanna bergumam dengan
setengah mengigau.
Hal
itu membuat Leo tertegun kaget. Apa kata Leanna tadi? Bakar?
Leo
mencoba menunggu dan berharap Leanna mengulang kata-katanya, tetapi adiknya itu
kembali menangis tersedu-sedu tanpa kata.
Kenapa
Leanna mengatakan tentang pembakaran tepat setelah kejadian rumah dan rumah
kaca Saira terbakar? Apakah ini berhubungan? Ataukah hanya kebetulan?
Leo
tidak bisa menahan dirinya untuk bertanya-tanya, otaknya berpikir keras...
tetapi seharusnya Leanna tidak mengetahui tentang kebakaran itu, pegawainya
menjaganya dengan begitu ketat sehingga menjaga Leanna dari semua informasi
dari luar. Seharusnya Leanna tida tahu apa-apa.
Leo
menghela napas panjang, mungkin memang ini semua hanya kebetulan...mungkin tadi
tidak sengaja Leanna melihat api dan berkomentar tentang pembakaran.
Tetapi
perasaan itu tetap ada, perasaan tergelitik di bagian belakangnya, yang
biasanya merupakan firasat bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Sumber
:
0 komentar:
Posting Komentar