Kamis, 06 Juni 2013

Pembunuh Cahaya Part 7



Pembunuh Cahaya part 7

Mereka berdua bertatapan dengan cemas dan wajah pucat. Saira sendiri begitu cemas, suaminya memperlakukannya dengan buruk dan sekarang dia hamil, hamil bukan dari buah cinta perkawinannya tetapi dari pemaksaan yang dilakukan suaminya kepadanya.

Akan seperti apakah Leo memperlakukan anaknya nanti? Sementara dia memperlakukan Saira seperti ini? Bagaimanakah anak ini akan tumbuh dan besar? Akankah Leo memperlakukannya dengan buruk?

Tiba-tiba insting ingin melindungi anaknya tumbuh dari benak Saira, dia langsung merangkulkan lengannya dan memeluk perutnya dengan waspada. Kalau Leo ingin menyakiti anak dan bayinya, berarti dia harus berjuang, kemarin Saira pasrah dan menyerah karena dia merasa dirinya sebatang kara, sekarang dia mempunyai seorang bayi yang tumbuh di dalam rahimnya, dan dia harus berjuang melindungi anaknya.

“Kau harus ke dokter.” Leo memandangi Saira yang memeluk perutnya sambil mengernyit, “Kita ke dokter sekarang.”

“Aku bisa pergi sendiri.” Saira tiba-tiba ingin menjauhkan Leo sejauh mungkin dari calon anaknya. Dia tidak percaya kepada Leo.

Sekarang, Saira.” Leo menggeram merenggut lengan Saira dengan kasar, ketika melihat Saira mengernyit dia langsung melepaskan pegangannya tampak bingung harus berbuat apa, “Pokoknya ikut aku.”

Saira memegangi lengannya yang sakit, sekilas melihat kebingungan yang muncul dari tatapan mata Leo dan menarik kesimpulan. Leo tampak sama bingungnya dengannya, lelaki itu sepertinya tidak mengira keadaan akan seperti ini. Kemudian dia menghela napas panjang dan memutuskan untuk mengikuti kemauan Leo. Lagipula dia ingin memastikan keadaannya di dokter.

Dengan langkah ragu, dia mengikuti Leo memasuki mobil hitamnya yang besar itu, dan duduk di kursi penumpang di sebelahnya. Sepanjang perjalanan mereka tidak bercakap-cakap, hanya diam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing.
***

“Kantong kehamilannya sudah kelihatan, dan hasil tes labnya positif, usia kandungannya sudah enam minggu.” Dokter perempuan itu tersenyum, “Selamat nyonya.”

Saira membalas senyuman dokter yang ramah itu dengan gugup, sementara Leo sendiri tampak pucat pasi menerima kepastian kabar itu.

Ini pasti bukan yang diharapkan lelaki itu.

Saira menatap ekspresi shock Leo dan menghela napas panjang. Tetapi dia benar-benar hamil. Dengan lembut dielusnya perutnya, penuh kasih sayang. Dia tidak tahu bagaimana caranya menjadi ibu, tetapi yang pasti dia akan menjaga anak ini sepenuh hatinya. Matanya bersinar penuh sayang, karena kehadiran anak ini, dia tidak sebatang kara lagi.

Saira mengangkat kepalanya, dan matanya bertatapan dengan Leo yang sedang mengamati perutnya. Lelaki itu lalu menatap mata Saira dan mengalihkan pandangannya. Ekspresinya tidak terbaca.
***
Setelah mengantarkan Saira pulang, Leo langsung pergi lagi, setengah mengebut dia menuju rumahnya yang ada di pinggiran kota. Menuju Leanna.

Rumah besar bercat putih itu tampak lengang, ketika Leo memarkir mobilnya di halaman dia merenung dan menyadari bahwa selalu ada nuansa sedih di dalam rumah ini. Suasana sedih yang menggayuti hatinya.

Dia melangkah menaiki tangga menuju kamar Leanna, rumah tampak sepi karena masih siang hari. Mungkin Leanna sedang tidur siang dan para pelayan sedang sibuk menyiapkan hidangannya di dapur.

Dengan hati-hati, dibukanya kamar adik kembarnya itu, dilihatnya Leanna sedang tidur pulas. Tetapi rupanya Leanna menyadari kedatangannya, matanya terbuka, meskipun hampa dan kosong, tetapi menunjukkan kalau dia sudah bangun.

“Hai sayang.” Leo memang selalu memanggil Leanna dengan panggilan sayang, sebagai bentuk kasih sayangnya kepada adiknya, “Apa kabarmu?”

Leanna yang masih berbaring menjulurkan tangannya ke arah suara Leo dan tersenyum, “Kangen.”

Leo duduk di pinggir ranjang dan menggenggam tangan adiknya. Kadangkala ketika kondisi Leanna sedang baik, dia bisa diajak komunikasi dengan lancar, meskipun hanya sepatah-sepatah kata.

“Aku juga merindukanmu.” Hati Leo terasa perih melihat kondisi Leanna yang terbaring tak berdaya, seketika pikirannya melayang ke arah Saira, Saira yang sedang mengandung anaknya. Akankah dia jadi seperti ayahnya? Mengkhianati Leanna karena Saira? Jantung Leo serasa direnggut dan napasnya terasa sesak, “Maafkan aku.” Suaranya berubah serak, “Maafkan aku Leanna. Tetapi aku tidak bisa melukai Saira lagi... dia.. dia mengandung anakku, dan aku... aku tidak mungkin menyakitinya, aku.. aku telah jatuh dalam perasaanku sendiri.” Suara Leo tercekat, menatap Leanna yang masih memasang eksrpresi kosong, “Maafkan aku Leanna, aku jahat sama seperti ayah. Aku mengkhianatimu karena telah kalah dengan perasaanku sendiri.. maafkan aku Leanna, maafkan aku....”

Suara Leo yang penuh kesedihan dan keputus asaan menggema di kamar yang sepi itu, dan tidak ada jawaban dari Leanna.

Bahkan Leo tidak tahu apakah Leanna mengerti kata-katanya atau tidak.....
***

Leo merenung sendirian di ruang tamu rumah itu. Leanna tampaknya lelah dan dia tertidur lagi di atas.

Dia merenungi semua rencananya yang sudah pasti akan berubah total. Kehamilan Saira sudah merubah segalanya. Dia berencana membuat Saira tersiksa dan menderita secara mental. Tetapi hal itu tidak mungkin bukan dilakukannya kalau Saira sedang mengandung anaknya?

Dengan frustrasi Leo meremas rambutnya sendiri, mengutuk kebodohannya karena malam itu, ketika dia memaksakan kehendaknya kepada Saira, dia tidak teringat untuk menggunakan pengaman. Dia terlalu marah waktu itu sehingga bertindak tanpa pikir panjang, ingin menghukum Saira dengan cara terburuk yang dia tahu. Tetapi itu hanya terjadi satu kali, siapa yang mengira bahwa Saira langsung hamil?

Tetapi penyesalan tidak ada gunanya, sekarang Leo harus memikirkan langkah ke depannya dengan adanya perubahan situasi ini. Perempuan itu, Saira, telah terlanjur mengandung darah dagingnya.

Perempuan hamil... Leo sama sekali tidak punya pengalaman dengan perempuan hamil, apalagi yang sedang mengandung anaknya. Anak itu... apakah dia menginginkannya?

Leo memejamkan matanya, tiba-tiba merasa rapuh ketika batinnya mengakui bahwa dia menginginkan anak itu.
***

“Aku hamil.” Saira menelepon Andre segera begitu dia berada di kamar sendirian.

Andre tampak menahan napas di seberang telepon, dia terperangah, “Hamil? Tetapi... bagaimana bisa? Bukankah kau bilang dia sama sekali tidak menyentuhmu?”

Saira tidak pernah mengatakan tentang pemerkosaan yang dilakukan Leo kepadanya saat itu, dia tidak mau menyulut kemarahan Andre. Karena itu dengan gugup dia berdehem, berusaha terdengar normal.

“Itu pernah terjadi satu kali.”

“Apakah dengan cinta?” Andre langsung bertanya skeptis, lelaki itu terlalu pandai untuk dibohongi.

Saira berdehem lagi kebingungan, lalu memutuskan untuk jujur saja, “Tidak. Itu terjadi karena Leo marah.”

“Oh Astaga.” Suara Andre tercekat. Lalu hening. Saira tahu Andre sedang meredakan emosinya. Kemudian lelaki itu berkata lagi dengan tegas dan marah, “Dia memperlakukanmu dengan sangat buruk, Saira. Kurasa sudah saatnya kau meninggalkannya.”

“Aku tidak bisa, Andre... bayi ini, dia anak Leo... aku tidak bisa meninggalkan Leo begitu saja, anak ini nanti tidak akan punya ayah.”

“Kau bisa.” Andre bergumam tegas, “Tinggalkan dia, Saira. Dia sudah memperlakukanmu dengan buruk, dari ceritamu setiap malam, ketika kau menangis dan meneleponku, aku sudah menahan diri untuk menyerbu rumah itu dan membawamu keluar dari sana. Kau selalu menahanku, tetapi sekarang ada bayi itu dan aku mencemaskannya, apakah Leo akan menyakiti bayi itu juga?”

Pertanyaan Andre menohok benak Saira, dia merenung, Apakah Leo akan menyakiti bayi ini juga? Saira tidak tahu. Dia tidak bisa membaca Leo.

Dengan sedih Saira menghela napas panjang, “Aku tidak bisa meninggalkan Leo, Andre...”

“Kenapa Saira? Tidak ada satu perempuanpun yang bisa tahan seperti dirimu, direndahkan dan tidak dipedulikan oleh suaminya seperti itu. Kenapa Saira? Kenapa kau bertahan? Apakah karena kau masih mencintai si brengsek itu?”

Saira tertegun, tidak bisa menjawab.

Sampai kemudian Andre menyadari kenyataan di balik keheningan Saira, “Oh Astaga, Saira. Kau masih mencintai Leo ya? Bahkan setelah seluruh perlakukan buruk yang dia timpakan kepadamu?”

Saira menghela napas panjang, Andre akhirnya menyuarakan kenyataan yang selama ini coba Saira sangkal. Dia memang masih mencintai Leo, amat sangat. Dan bahkan setelah kekasaran dan kekejaman sikap Leo kepadanya, Saira masih menyimpan itu, jauh di dalam hatinya yang perih dan terlukai.

Air matanya menetes, merasakan pedihnya cinta yang tak terbalas, “Maafkan aku Andre.” Suaranya bergetar karena tangis.

Andre menghela napas lagi dengan keras, “Kau tidak boleh seperti itu Saira, lemah karena cinta dan membiarkan dirimu ditindas tak karuan oleh suamimu. Ingat sekarang ada seorang anak di dalam perutmu yang membutuhkan perlindungan dan perhatianmu, dan kuharap, ketika kelakuan Leo sudah tidak bisa ditoleransi lagi, kau bisa mengambil keputusan tegas untuk meninggalkannya, demi dirimu dan demi bayimu.”

Saira mengernyit mendengar nasehat Andre. Dia menyadari bahwa kenyataan itu pada akhirnya akan datang. Kenyataan bahwa mungkin pada akhirnya dia harus meninggalkan Leo.
***

Leo pulang masih dengan hati berkecamuk, bingung harus berbuat apa. Di satu sisi dia merasa harus menjalankan apa yang disebutnya sebagai rencana balas dendam, tetapi di sisi lain, nuraninya memberontak mengingatkannya bahwa Saira sedang mengandung anaknya.

Dan Saira sedang menunggunya, menatapnya dengan matanya yang lebar dan indah di ruang tamu. Entah berapa lama perempuan itu menunggunya, bukankah dia seharusnya sudah tidur? Bukankah perempuan hamil seharusnya tidur cepat?

Leo melirik jam tangannya, sudah hampir jam dua belas, dia kemudian bergumam dingin kepada Saira, “Bukankah seharusnya kau sudah tidur?”

“Aku menunggumu, kita harus bicara.” Jawab Saira singkat, menatapnya penuh tekad.

Leo mengernyit. Kalau saja dia malam ini tidak pulang dan memutuskan menginap di rumah untuk Leanna, akankah isterinya ini menunggunya sampai pagi?

“Kita bicara besok saja, aku lelah.”

“Apakah ada perempuan lain, Leo?”

Leo yang sedang melangkah hendak meninggalkan ruangan tertegun, dan kemudian menatap Saira dengan defensif, “Apa maksudmu?”

“Kau jarang pulang, kau tampak begitu membenciku, aku berpikir bahwa mungkin...” Saira menghela napas panjang, merasakan kesakitan ketika mengucapkan kata-kata itu, “Aku berpikir bahwa mungkin kau.. kau sudah menemukan perempuan lain yang kaucintai, dan kau baru menyadarinya ketika kau sudah terlanjur menikahiku, jadi kau melampiaskan rasa frustrasimu dengan melakukan semua ini kepadaku. Aku pikir...” Saira berdehem, “Kalau memang ada perempuan lain yang kau cintai, dan juga mencintaimu, aku.. aku bersedia pergi dengan sukarela.” Saira memalingkan wajahnya dengan sedih, “Aku tidak akan memaksakan suamiku yang tidak mencintaiku untuk hidup bersamaku.”

Leo tercenung lama, bayangan Leanna terlintas di benaknya. Memang ada perempuan lain, meskipun tidak dalam cara seperti yang dibayangkan oleh Saira. Leanna adalah perempuan lain itu, adik kembar kesayangannya yang telah menanggung begitu banyak penderitaan karena keberadaan Saira. Ayahnya yang sangat dipuja oleh Leanna, yang sangat dirindukan kasih sayangnya oleh Leanna, ternyata memusatkan perhatiannya kepada Saira, mengabaikan Leanna.

Dan sekarang, Leo merasakan dorongan yang sama. Dorongan itu sebenarnya sudah muncul dari awal, ketika dia mendekati Saira, merasakan kedekatan yang nyaman dan perasaan hangat yang mulai bertumbuh seiring dengan kebersamaan mereka, sejenak Leo lupa pada keinginannya untuk membalas dendam, terlena dalam pesona Saira. Sayangnya, setiap malam ketika dia melihat keadaan Leanna, Leo selalu disadarkan bahwa dia harus menyakiti Saira untuk membalas dendam. Kemudian, dengan kejam, Leo membunuh perasaan yang bertumbuh itu, menguncinya begitu dalam jauh di dalam jiwanya yang kelam.

Tetapi setelah diketahuinya bahwa Saira sedang hamil dan mengandung anaknya, perasaan itu perlahan menyembul kembali, menyeruak tanpa dia sadari, membuat Leo merasa benci pada diri sendiri karena dia sadar, kalau dia menumbuhkan rasa sayangnya pada Saira, itu sama saja dia telah mengkhianati Leanna, melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan ayah mereka kepada Leanna.

Tetapi Leo tidak mampu membohongi dirinya sendiri, selama ini dia berhasil bersikap kasar kepada Saira, menyakitinya sambil menipu dirinya sendiri bahwa dia melakukannya demi Leanna.... tertapi sedikit demi sedikit hatinya ternyata ikut tersakiti dan pedih, seiring dengan kepedihan yang dialami Saira.

Leo tidak mampu membuat Saira menderita lagi, Leo tidak mampu menyakiti Saira lagi, terlebih karena sekarang di dalam tubuh Saira, darah dagingnya telah tumbuh dan berkembang.

Leo menatap ke arah Saira yang masih mengamatinya dengan bingung dan penuh ingin tahu.

“Tidak ada wanita lain.” Gumamnya ketus, lalu berlalu meninggalkan Saira.
***

Tamu yang datang siang itu sungguh tak di duganya, dia adalah mama Leo, perempuan yang sangat modis dan cantik meskipun usianya sudah lebih dari setengah abad, perempuan itu tiba-tiba saja sudah datang dan duduk di ruang tamu dan mengamati Saira dari atas ke bawah.

“Kau cantik.” Gumamnya kemudian dalam senyuman, membuat Saira yang semula menahan napas di bawah tatapan perempuan itu langsung menghelanya dengan lega. “Aku tidak bisa datang ke pernikahanmu karena kondisi tubuhku agak sedikit tidak baik dan aku harus merawat diriku di luar negeri, maafkan aku. Yang pasti aku senang isteri Leo sangat cantik dan sepertinya baik.” Senyumnya.

“Terimakasih.” Saira duduk dengan gugup di depan mama mertuanya.

“Kau bisa memanggilku dengan namaku saja, panggil aku Clara. aku kurang suka dipanggil dengan sebutan ‘tante’, atau ‘mama’ dan sebagainya, itu membuatku merasa semakin tua.” Clara menyandarkan tubuhnya di sofa dengan santai.

Pelayan datang mengantarkan teh dan kue, sementara Saira mengamati mama mertuanya, perempuan ini tampaknya memiliki pemikiran modern ala barat,  karena cara memanggil orangtua hanya dengan nama saja biasanya diterapkan di negeri barat dan hampir tidak ada di sini.

Clara menatap mata Saira dan tersenyum, seolah bisa memahami pemikiran Saira, “Aku hidup di luar negeri hampir seumur hidupku, aku pulang ke negara ini, dan satu tahun kemudian aku menikah. Jadi memang gaya hidupku tidak seperti orang kebanyakan di sini,” Perempuan itu lalu memajukan tubuhnya dan menatap Saira dalam, “Kau hamil ya.”

Saira hampir saja tersedak teh yang disesapnya, dia menatap Clara dengan bingung, “Darimana anda tahu?”

“Dokter yang kalian kunjungi kan dokter pribadi keluarga kami, dia secara pribadi meneleponku untuk mengucapkan selamat.” Clara memutar bola matanya, “Dan bahkan, Leo anakku sendiri tidak memberitahuku.”

Saira tercenung dan teringat perkataan Leo, tentang sesuatu yang berhubungan dengan mengemis kasih sayang orang tua. Apakah Leo yang mengalaminya? Mengemis kasih sayang orang tua? Tetapi sepertinya Clara ibu yang baik, bukan perempuan dingin yang tidak bisa menyayangi anaknya, kalau begitu kenapa seolah-olah Clara tidak bisa dekat dengan anak-anaknya?

Clara sendiri ikut mengambil teh dan menyesapnya, lalu meletakkan cangkirnya di meja dan mendesah, “Leo memang tidak pernah dekat denganku, apalagi setelah dia dewasa dan kemudian meninggalkan rumah, kami hampir sama sekali tidak pernah berhubungan.....” Clara menatap Saira dengan ragu, “Apakah kau sudah berkenalan dengan Leanna?”

Leanna? Siapakah itu? Leo sama sekali tidak pernah menyebut nama itu dalam percakapan mereka. Dengan ragu dan penuh ingin tahu, dia menggelengkan kepalanya dan menatap Clara penuh ingin tahu.

Tetapi Clara seolah menyesal telah menanyakan pertanyaan itu, dia menggumam tak jelas, lalu mengalihkan pembicaraan ke hal-hal lain.

Tetapi sampai dengan Clara berpamitan pergi, pertanyaan itu terus menggayuti benak Saira. Leanna? Siapakah gerangan Leanna itu?
***

Leo akhirnya pulang, dan menatap Saira dari belakang, Saira rupanya tidak menyadari keberadaannya, perempuan itu sedang sibuk mengatur bunga di sebuah vas, mungkin itu bunga-bunga yang dia petik dari taman belakang sana. Tanpa sadar Leo tersenyum, Saira hampir tidak bisa lepas dari tanaman.

Ketika sadar bahwa dia tersenyum, Leo langsung mengerutkan alisnya dan berdehem, membuat Saira menolehkan kepalanya, disadarinya bahwa perempuan itu langsung menegang ketika menyadari kehadirannya di ruangan itu.

“Kita akan membicarakan mengenai kehamilan ini.”

Saira memberikan tatapan persetujuan, lalu tanpa suara mundur dan melangkah duduk di sofa, Leo menyusulnya, duduk di depannya,

“Aku menginginkan anak itu.” Gumam Leo.

Wajah Saira langsung pucat, dan reflek tangannya melindungi perutnya, Apakah Leo akan merenggut anak ini darinya ketika lahir nanti? Sekejam itukah Leo kepadanya? Memisahkan anak dari ibunya adalah perbuatan terkejam yang Saira bisa bayangkan.

Leo mengamati ekspresi Saira dan mengerutkan keningnya kesal, “Jangan takut, aku tidak akan merebut anak itu darimu. Kita akan membicarakan pengaturan pernikahan ini baik-baik, demi anak itu.” Leo menghela napas, mengucapkan permintaan maaf dalam hatinya kepada Leanna, dia bisa dikatakan telah mengkhianati Leanna, tetapi bagaimana lagi? Saira sedang mengandung anaknya. “Aku akan memperlakukanmu dengan baik.”

Saira menatap Leo dengan tatapan tidak percaya, “Kau? Akan memperlakukanku dengan baik? Sampai kapan Leo? Sampai anak ini lahir dan kau kemudian akan menyiksa dan merendahkanku lagi? Tidak!” Saira mengangkat dagunya dengan keras kepala, “Sampai detik ini aku tidak tahu kenapa kau menikahiku, tetapi sedikit demi sedikit aku memahami ada kebencian yang mendorongmu, meski aku tidak pernah tahu apa alasannya dan apa kesalahanku.” Mata Saira tampak pedih, “Anak ini memang tidak direncanakan, tetapi aku tidak akan melibatkannya dalam pernikahan yang menyedihkan ini. Aku ingin bercerai.”

Saira memang masih mencintai Leo, tetapi sikap Leo di depannya yang begitu dingin dan datar menyakiti hatinya. Seandainya saja Leo bisa sedikit lembut kepadanya, menunjukkan penyesalan atas sikap kasarnya dan menunjukkan niat baiknya, alih-alih memberikan kesepakatan tanpa hati, Saira mungkin akan memperjuangkan pernikahan ini untuk Leo. Tetapi detik ini dia melihat, bahwa tidak ada gunanya dia berharap. Leo membencinya. Titik. Dan Saira seperti orang bodoh terus berharap dalam cinta yang tak terbalas.

Andre benar, sekarang dia tidak sendirian lagi, sekarang ada anak ini di dalam perutnya, dan Saira harus berjuang bukan hanya demi dirinya tetapi juga demi anak ini.

Ekspresi Leo tampak marah mendengar usulan perceraian Saira, “Tidak akan ada perceraian, bukankah sudah kukatakan kepadamu?”

“Aku akan menggugatmu, segera. Aku sudah muak menjadi pelampiasan kebencianmu tanpa tahu kenapa. Aku sudha muak menyadari kau menipuku dalam pernikahan ini, mengira kau mencintaiku.” Napas Saira tercekat menahan air matanya yang mulai tumpah, “Dan kemudian aku tahu semua itu hanyalah kebohongan, kebohongan palsu yang sangat kejam.” Air mata Saira akhirnya meleleh ke pipinya, “Aku mencintaimu, kau pasti tahu itu..” suaranya bergetar ketika dia mengusap air matanya dengan kasar dan melangkah berdiri, hendak meninggalkan Leo.

Tetapi baru beberapa langkah, Leo meraih pergelangan tangannya dan mencengkeramnya. Saira menoleh dan melihat pergolakan di wajah Leo, lelaki itu tampak kalut dan bingung... akankah Leo menahan dan memeluknya?

Saira mungkin terlalu banyak berharap, karena kemudian yang dikatakan Leo adalah ucapan dingin yang arogan,

“Tidak akan ada perceraian, Saira. Kau harus terima itu.”

Dengan penuh kekecewaan akan jawaban Leo, Saira menyentakkan tangannya dari pegangan Leo dan melangkah setengah berlari menuju kamarnya, sejauh mungkin dari suaminya. Dia akan pergi dari rumah ini bagaimanapun caranya. Selama ini dia bertumpu pada harapan kosong bahwa masih ada cinta Leo untuknya. Sekarang dia sudah sepenuhnya sadar bahwa dia hanya bermimpi.

Pernikahan ini sudah tidak bisa diperjuangkan lagi. Pernikahan ini sudah mati bahkan sebelum dimulai. Dan Saira harus pergi meninggalkan Leo, kalau tidak dia akan hanyut dalam nyeri dan patah hati.

Sumber :

0 komentar:

Posting Komentar

 

De_windows © 2008. Template Design By: SkinCorner