Pembunuh Cahaya part 7
Mereka
berdua bertatapan dengan cemas dan wajah pucat. Saira sendiri begitu cemas,
suaminya memperlakukannya dengan buruk dan sekarang dia hamil, hamil bukan dari
buah cinta perkawinannya tetapi dari pemaksaan yang dilakukan suaminya
kepadanya.
Akan
seperti apakah Leo memperlakukan anaknya nanti? Sementara dia memperlakukan
Saira seperti ini? Bagaimanakah anak ini akan tumbuh dan besar? Akankah Leo
memperlakukannya dengan buruk?
Tiba-tiba
insting ingin melindungi anaknya tumbuh dari benak Saira, dia langsung
merangkulkan lengannya dan memeluk perutnya dengan waspada. Kalau Leo ingin
menyakiti anak dan bayinya, berarti dia harus berjuang, kemarin Saira pasrah
dan menyerah karena dia merasa dirinya sebatang kara, sekarang dia mempunyai
seorang bayi yang tumbuh di dalam rahimnya, dan dia harus berjuang melindungi
anaknya.
“Kau
harus ke dokter.” Leo memandangi Saira yang memeluk perutnya sambil mengernyit,
“Kita ke dokter sekarang.”
“Aku
bisa pergi sendiri.” Saira tiba-tiba ingin menjauhkan Leo sejauh mungkin dari
calon anaknya. Dia tidak percaya kepada Leo.
“Sekarang,
Saira.” Leo menggeram merenggut lengan Saira dengan kasar, ketika melihat Saira
mengernyit dia langsung melepaskan pegangannya tampak bingung harus berbuat
apa, “Pokoknya ikut aku.”
Saira
memegangi lengannya yang sakit, sekilas melihat kebingungan yang muncul dari
tatapan mata Leo dan menarik kesimpulan. Leo tampak sama bingungnya dengannya,
lelaki itu sepertinya tidak mengira keadaan akan seperti ini. Kemudian dia
menghela napas panjang dan memutuskan untuk mengikuti kemauan Leo. Lagipula dia
ingin memastikan keadaannya di dokter.
Dengan
langkah ragu, dia mengikuti Leo memasuki mobil hitamnya yang besar itu, dan
duduk di kursi penumpang di sebelahnya. Sepanjang perjalanan mereka tidak
bercakap-cakap, hanya diam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing.
***
“Kantong
kehamilannya sudah kelihatan, dan hasil tes labnya positif, usia
kandungannya sudah enam minggu.” Dokter perempuan itu tersenyum, “Selamat
nyonya.”
Saira
membalas senyuman dokter yang ramah itu dengan gugup, sementara Leo sendiri
tampak pucat pasi menerima kepastian kabar itu.
Ini
pasti bukan yang diharapkan lelaki itu.
Saira
menatap ekspresi shock Leo dan menghela napas panjang. Tetapi dia
benar-benar hamil. Dengan lembut dielusnya perutnya, penuh kasih sayang. Dia
tidak tahu bagaimana caranya menjadi ibu, tetapi yang pasti dia akan menjaga
anak ini sepenuh hatinya. Matanya bersinar penuh sayang, karena kehadiran anak
ini, dia tidak sebatang kara lagi.
Saira
mengangkat kepalanya, dan matanya bertatapan dengan Leo yang sedang mengamati
perutnya. Lelaki itu lalu menatap mata Saira dan mengalihkan pandangannya.
Ekspresinya tidak terbaca.
***
Setelah
mengantarkan Saira pulang, Leo langsung pergi lagi, setengah mengebut dia
menuju rumahnya yang ada di pinggiran kota. Menuju Leanna.
Rumah
besar bercat putih itu tampak lengang, ketika Leo memarkir mobilnya di halaman
dia merenung dan menyadari bahwa selalu ada nuansa sedih di dalam rumah ini.
Suasana sedih yang menggayuti hatinya.
Dia
melangkah menaiki tangga menuju kamar Leanna, rumah tampak sepi karena masih
siang hari. Mungkin Leanna sedang tidur siang dan para pelayan sedang sibuk
menyiapkan hidangannya di dapur.
Dengan
hati-hati, dibukanya kamar adik kembarnya itu, dilihatnya Leanna sedang tidur
pulas. Tetapi rupanya Leanna menyadari kedatangannya, matanya terbuka, meskipun
hampa dan kosong, tetapi menunjukkan kalau dia sudah bangun.
“Hai
sayang.” Leo memang selalu memanggil Leanna dengan panggilan sayang, sebagai
bentuk kasih sayangnya kepada adiknya, “Apa kabarmu?”
Leanna
yang masih berbaring menjulurkan tangannya ke arah suara Leo dan tersenyum,
“Kangen.”
Leo
duduk di pinggir ranjang dan menggenggam tangan adiknya. Kadangkala ketika
kondisi Leanna sedang baik, dia bisa diajak komunikasi dengan lancar, meskipun
hanya sepatah-sepatah kata.
“Aku
juga merindukanmu.” Hati Leo terasa perih melihat kondisi Leanna yang terbaring
tak berdaya, seketika pikirannya melayang ke arah Saira, Saira yang sedang
mengandung anaknya. Akankah dia jadi seperti ayahnya? Mengkhianati Leanna
karena Saira? Jantung Leo serasa direnggut dan napasnya terasa sesak,
“Maafkan aku.” Suaranya berubah serak, “Maafkan aku Leanna. Tetapi aku tidak
bisa melukai Saira lagi... dia.. dia mengandung anakku, dan aku... aku tidak
mungkin menyakitinya, aku.. aku telah jatuh dalam perasaanku sendiri.” Suara
Leo tercekat, menatap Leanna yang masih memasang eksrpresi kosong, “Maafkan aku
Leanna, aku jahat sama seperti ayah. Aku mengkhianatimu karena telah kalah
dengan perasaanku sendiri.. maafkan aku Leanna, maafkan aku....”
Suara
Leo yang penuh kesedihan dan keputus asaan menggema di kamar yang sepi itu, dan
tidak ada jawaban dari Leanna.
Bahkan
Leo tidak tahu apakah Leanna mengerti kata-katanya atau tidak.....
***
Leo
merenung sendirian di ruang tamu rumah itu. Leanna tampaknya lelah dan dia
tertidur lagi di atas.
Dia
merenungi semua rencananya yang sudah pasti akan berubah total. Kehamilan Saira
sudah merubah segalanya. Dia berencana membuat Saira tersiksa dan menderita
secara mental. Tetapi hal itu tidak mungkin bukan dilakukannya kalau Saira
sedang mengandung anaknya?
Dengan
frustrasi Leo meremas rambutnya sendiri, mengutuk kebodohannya karena malam
itu, ketika dia memaksakan kehendaknya kepada Saira, dia tidak teringat untuk
menggunakan pengaman. Dia terlalu marah waktu itu sehingga bertindak tanpa
pikir panjang, ingin menghukum Saira dengan cara terburuk yang dia tahu. Tetapi
itu hanya terjadi satu kali, siapa yang mengira bahwa Saira langsung hamil?
Tetapi
penyesalan tidak ada gunanya, sekarang Leo harus memikirkan langkah ke depannya
dengan adanya perubahan situasi ini. Perempuan itu, Saira, telah terlanjur
mengandung darah dagingnya.
Perempuan
hamil... Leo sama sekali tidak punya pengalaman dengan perempuan hamil, apalagi
yang sedang mengandung anaknya. Anak itu... apakah dia menginginkannya?
Leo
memejamkan matanya, tiba-tiba merasa rapuh ketika batinnya mengakui bahwa dia
menginginkan anak itu.
***
“Aku
hamil.” Saira menelepon Andre segera begitu dia berada di kamar sendirian.
Andre
tampak menahan napas di seberang telepon, dia terperangah, “Hamil?
Tetapi... bagaimana bisa? Bukankah kau bilang dia sama sekali tidak
menyentuhmu?”
Saira
tidak pernah mengatakan tentang pemerkosaan yang dilakukan Leo kepadanya saat
itu, dia tidak mau menyulut kemarahan Andre. Karena itu dengan gugup dia
berdehem, berusaha terdengar normal.
“Itu
pernah terjadi satu kali.”
“Apakah
dengan cinta?” Andre langsung bertanya skeptis, lelaki itu terlalu pandai untuk
dibohongi.
Saira
berdehem lagi kebingungan, lalu memutuskan untuk jujur saja, “Tidak. Itu
terjadi karena Leo marah.”
“Oh
Astaga.” Suara Andre tercekat. Lalu hening. Saira tahu Andre sedang meredakan
emosinya. Kemudian lelaki itu berkata lagi dengan tegas dan marah, “Dia
memperlakukanmu dengan sangat buruk, Saira. Kurasa sudah saatnya kau
meninggalkannya.”
“Aku
tidak bisa, Andre... bayi ini, dia anak Leo... aku tidak bisa meninggalkan Leo
begitu saja, anak ini nanti tidak akan punya ayah.”
“Kau
bisa.” Andre bergumam tegas, “Tinggalkan dia, Saira. Dia sudah memperlakukanmu
dengan buruk, dari ceritamu setiap malam, ketika kau menangis dan meneleponku,
aku sudah menahan diri untuk menyerbu rumah itu dan membawamu keluar dari sana.
Kau selalu menahanku, tetapi sekarang ada bayi itu dan aku mencemaskannya,
apakah Leo akan menyakiti bayi itu juga?”
Pertanyaan
Andre menohok benak Saira, dia merenung, Apakah Leo akan menyakiti bayi ini
juga? Saira tidak tahu. Dia tidak bisa membaca Leo.
Dengan
sedih Saira menghela napas panjang, “Aku tidak bisa meninggalkan Leo, Andre...”
“Kenapa
Saira? Tidak ada satu perempuanpun yang bisa tahan seperti dirimu, direndahkan
dan tidak dipedulikan oleh suaminya seperti itu. Kenapa Saira? Kenapa kau
bertahan? Apakah karena kau masih mencintai si brengsek itu?”
Saira
tertegun, tidak bisa menjawab.
Sampai
kemudian Andre menyadari kenyataan di balik keheningan Saira, “Oh Astaga,
Saira. Kau masih mencintai Leo ya? Bahkan setelah seluruh perlakukan buruk yang
dia timpakan kepadamu?”
Saira
menghela napas panjang, Andre akhirnya menyuarakan kenyataan yang selama ini
coba Saira sangkal. Dia memang masih mencintai Leo, amat sangat. Dan bahkan
setelah kekasaran dan kekejaman sikap Leo kepadanya, Saira masih menyimpan itu,
jauh di dalam hatinya yang perih dan terlukai.
Air
matanya menetes, merasakan pedihnya cinta yang tak terbalas, “Maafkan aku
Andre.” Suaranya bergetar karena tangis.
Andre
menghela napas lagi dengan keras, “Kau tidak boleh seperti itu Saira, lemah
karena cinta dan membiarkan dirimu ditindas tak karuan oleh suamimu. Ingat
sekarang ada seorang anak di dalam perutmu yang membutuhkan perlindungan dan
perhatianmu, dan kuharap, ketika kelakuan Leo sudah tidak bisa ditoleransi
lagi, kau bisa mengambil keputusan tegas untuk meninggalkannya, demi dirimu dan
demi bayimu.”
Saira
mengernyit mendengar nasehat Andre. Dia menyadari bahwa kenyataan itu pada
akhirnya akan datang. Kenyataan bahwa mungkin pada akhirnya dia harus
meninggalkan Leo.
***
Leo
pulang masih dengan hati berkecamuk, bingung harus berbuat apa. Di satu sisi
dia merasa harus menjalankan apa yang disebutnya sebagai rencana balas dendam,
tetapi di sisi lain, nuraninya memberontak mengingatkannya bahwa Saira sedang
mengandung anaknya.
Dan
Saira sedang menunggunya, menatapnya dengan matanya yang lebar dan indah di
ruang tamu. Entah berapa lama perempuan itu menunggunya, bukankah dia
seharusnya sudah tidur? Bukankah perempuan hamil seharusnya tidur cepat?
Leo
melirik jam tangannya, sudah hampir jam dua belas, dia kemudian bergumam dingin
kepada Saira, “Bukankah seharusnya kau sudah tidur?”
“Aku
menunggumu, kita harus bicara.” Jawab Saira singkat, menatapnya penuh tekad.
Leo
mengernyit. Kalau saja dia malam ini tidak pulang dan memutuskan menginap di
rumah untuk Leanna, akankah isterinya ini menunggunya sampai pagi?
“Kita
bicara besok saja, aku lelah.”
“Apakah
ada perempuan lain, Leo?”
Leo
yang sedang melangkah hendak meninggalkan ruangan tertegun, dan kemudian
menatap Saira dengan defensif, “Apa maksudmu?”
“Kau
jarang pulang, kau tampak begitu membenciku, aku berpikir bahwa mungkin...”
Saira menghela napas panjang, merasakan kesakitan ketika mengucapkan kata-kata
itu, “Aku berpikir bahwa mungkin kau.. kau sudah menemukan perempuan lain yang
kaucintai, dan kau baru menyadarinya ketika kau sudah terlanjur menikahiku,
jadi kau melampiaskan rasa frustrasimu dengan melakukan semua ini kepadaku. Aku
pikir...” Saira berdehem, “Kalau memang ada perempuan lain yang kau cintai, dan
juga mencintaimu, aku.. aku bersedia pergi dengan sukarela.” Saira memalingkan
wajahnya dengan sedih, “Aku tidak akan memaksakan suamiku yang tidak
mencintaiku untuk hidup bersamaku.”
Leo
tercenung lama, bayangan Leanna terlintas di benaknya. Memang ada perempuan
lain, meskipun tidak dalam cara seperti yang dibayangkan oleh Saira. Leanna
adalah perempuan lain itu, adik kembar kesayangannya yang telah menanggung
begitu banyak penderitaan karena keberadaan Saira. Ayahnya yang sangat dipuja
oleh Leanna, yang sangat dirindukan kasih sayangnya oleh Leanna,
ternyata memusatkan perhatiannya kepada Saira, mengabaikan Leanna.
Dan
sekarang, Leo merasakan dorongan yang sama. Dorongan itu sebenarnya sudah
muncul dari awal, ketika dia mendekati Saira, merasakan kedekatan yang nyaman
dan perasaan hangat yang mulai bertumbuh seiring dengan kebersamaan mereka,
sejenak Leo lupa pada keinginannya untuk membalas dendam, terlena dalam pesona
Saira. Sayangnya, setiap malam ketika dia melihat keadaan Leanna, Leo selalu
disadarkan bahwa dia harus menyakiti Saira untuk membalas dendam. Kemudian,
dengan kejam, Leo membunuh perasaan yang bertumbuh itu, menguncinya begitu
dalam jauh di dalam jiwanya yang kelam.
Tetapi
setelah diketahuinya bahwa Saira sedang hamil dan mengandung anaknya, perasaan
itu perlahan menyembul kembali, menyeruak tanpa dia sadari, membuat Leo merasa
benci pada diri sendiri karena dia sadar, kalau dia menumbuhkan rasa sayangnya
pada Saira, itu sama saja dia telah mengkhianati Leanna, melakukan hal yang
sama seperti yang dilakukan ayah mereka kepada Leanna.
Tetapi
Leo tidak mampu membohongi dirinya sendiri, selama ini dia berhasil bersikap
kasar kepada Saira, menyakitinya sambil menipu dirinya sendiri bahwa dia
melakukannya demi Leanna.... tertapi sedikit demi sedikit hatinya ternyata ikut
tersakiti dan pedih, seiring dengan kepedihan yang dialami Saira.
Leo
tidak mampu membuat Saira menderita lagi, Leo tidak mampu menyakiti Saira lagi,
terlebih karena sekarang di dalam tubuh Saira, darah dagingnya telah tumbuh dan
berkembang.
Leo
menatap ke arah Saira yang masih mengamatinya dengan bingung dan penuh ingin
tahu.
“Tidak
ada wanita lain.” Gumamnya ketus, lalu berlalu meninggalkan Saira.
***
Tamu
yang datang siang itu sungguh tak di duganya, dia adalah mama Leo, perempuan
yang sangat modis dan cantik meskipun usianya sudah lebih dari setengah abad,
perempuan itu tiba-tiba saja sudah datang dan duduk di ruang tamu dan mengamati
Saira dari atas ke bawah.
“Kau
cantik.” Gumamnya kemudian dalam senyuman, membuat Saira yang semula menahan
napas di bawah tatapan perempuan itu langsung menghelanya dengan lega. “Aku
tidak bisa datang ke pernikahanmu karena kondisi tubuhku agak sedikit tidak
baik dan aku harus merawat diriku di luar negeri, maafkan aku. Yang pasti aku
senang isteri Leo sangat cantik dan sepertinya baik.” Senyumnya.
“Terimakasih.”
Saira duduk dengan gugup di depan mama mertuanya.
“Kau
bisa memanggilku dengan namaku saja, panggil aku Clara. aku kurang suka
dipanggil dengan sebutan ‘tante’, atau ‘mama’ dan sebagainya, itu
membuatku merasa semakin tua.” Clara menyandarkan tubuhnya di sofa dengan
santai.
Pelayan
datang mengantarkan teh dan kue, sementara Saira mengamati mama mertuanya,
perempuan ini tampaknya memiliki pemikiran modern ala barat, karena cara
memanggil orangtua hanya dengan nama saja biasanya diterapkan di negeri barat
dan hampir tidak ada di sini.
Clara
menatap mata Saira dan tersenyum, seolah bisa memahami pemikiran Saira, “Aku
hidup di luar negeri hampir seumur hidupku, aku pulang ke negara ini, dan satu
tahun kemudian aku menikah. Jadi memang gaya hidupku tidak seperti orang
kebanyakan di sini,” Perempuan itu lalu memajukan tubuhnya dan menatap Saira
dalam, “Kau hamil ya.”
Saira
hampir saja tersedak teh yang disesapnya, dia menatap Clara dengan bingung,
“Darimana anda tahu?”
“Dokter
yang kalian kunjungi kan dokter pribadi keluarga kami, dia secara pribadi
meneleponku untuk mengucapkan selamat.” Clara memutar bola matanya, “Dan
bahkan, Leo anakku sendiri tidak memberitahuku.”
Saira
tercenung dan teringat perkataan Leo, tentang sesuatu yang berhubungan dengan
mengemis kasih sayang orang tua. Apakah Leo yang mengalaminya? Mengemis
kasih sayang orang tua? Tetapi sepertinya Clara ibu yang baik, bukan
perempuan dingin yang tidak bisa menyayangi anaknya, kalau begitu kenapa
seolah-olah Clara tidak bisa dekat dengan anak-anaknya?
Clara
sendiri ikut mengambil teh dan menyesapnya, lalu meletakkan cangkirnya di meja
dan mendesah, “Leo memang tidak pernah dekat denganku, apalagi setelah dia
dewasa dan kemudian meninggalkan rumah, kami hampir sama sekali tidak pernah
berhubungan.....” Clara menatap Saira dengan ragu, “Apakah kau sudah berkenalan
dengan Leanna?”
Leanna?
Siapakah itu?
Leo sama sekali tidak pernah menyebut nama itu dalam percakapan mereka. Dengan
ragu dan penuh ingin tahu, dia menggelengkan kepalanya dan menatap Clara penuh
ingin tahu.
Tetapi
Clara seolah menyesal telah menanyakan pertanyaan itu, dia menggumam tak jelas,
lalu mengalihkan pembicaraan ke hal-hal lain.
Tetapi
sampai dengan Clara berpamitan pergi, pertanyaan itu terus menggayuti benak
Saira. Leanna? Siapakah gerangan Leanna itu?
***
Leo
akhirnya pulang, dan menatap Saira dari belakang, Saira rupanya tidak menyadari
keberadaannya, perempuan itu sedang sibuk mengatur bunga di sebuah vas, mungkin
itu bunga-bunga yang dia petik dari taman belakang sana. Tanpa sadar Leo
tersenyum, Saira hampir tidak bisa lepas dari tanaman.
Ketika
sadar bahwa dia tersenyum, Leo langsung mengerutkan alisnya dan berdehem,
membuat Saira menolehkan kepalanya, disadarinya bahwa perempuan itu langsung
menegang ketika menyadari kehadirannya di ruangan itu.
“Kita
akan membicarakan mengenai kehamilan ini.”
Saira
memberikan tatapan persetujuan, lalu tanpa suara mundur dan melangkah duduk di
sofa, Leo menyusulnya, duduk di depannya,
“Aku
menginginkan anak itu.” Gumam Leo.
Wajah
Saira langsung pucat, dan reflek tangannya melindungi perutnya, Apakah
Leo akan merenggut anak ini darinya ketika lahir nanti? Sekejam itukah Leo
kepadanya? Memisahkan anak dari ibunya adalah perbuatan terkejam yang Saira
bisa bayangkan.
Leo
mengamati ekspresi Saira dan mengerutkan keningnya kesal, “Jangan takut, aku
tidak akan merebut anak itu darimu. Kita akan membicarakan pengaturan
pernikahan ini baik-baik, demi anak itu.” Leo menghela napas, mengucapkan
permintaan maaf dalam hatinya kepada Leanna, dia bisa dikatakan telah
mengkhianati Leanna, tetapi bagaimana lagi? Saira sedang mengandung
anaknya. “Aku akan memperlakukanmu dengan baik.”
Saira
menatap Leo dengan tatapan tidak percaya, “Kau? Akan memperlakukanku
dengan baik? Sampai kapan Leo? Sampai anak ini lahir dan kau kemudian akan menyiksa
dan merendahkanku lagi? Tidak!” Saira mengangkat dagunya dengan keras
kepala, “Sampai detik ini aku tidak tahu kenapa kau menikahiku, tetapi sedikit
demi sedikit aku memahami ada kebencian yang mendorongmu, meski aku tidak
pernah tahu apa alasannya dan apa kesalahanku.” Mata Saira tampak pedih, “Anak
ini memang tidak direncanakan, tetapi aku tidak akan melibatkannya dalam
pernikahan yang menyedihkan ini. Aku ingin bercerai.”
Saira
memang masih mencintai Leo, tetapi sikap Leo di depannya yang begitu dingin dan
datar menyakiti hatinya. Seandainya saja Leo bisa sedikit lembut kepadanya,
menunjukkan penyesalan atas sikap kasarnya dan menunjukkan niat baiknya,
alih-alih memberikan kesepakatan tanpa hati, Saira mungkin akan memperjuangkan
pernikahan ini untuk Leo. Tetapi detik ini dia melihat, bahwa tidak ada gunanya
dia berharap. Leo membencinya. Titik. Dan Saira seperti orang bodoh
terus berharap dalam cinta yang tak terbalas.
Andre
benar, sekarang dia tidak sendirian lagi, sekarang ada anak ini di dalam
perutnya, dan Saira harus berjuang bukan hanya demi dirinya tetapi juga demi
anak ini.
Ekspresi
Leo tampak marah mendengar usulan perceraian Saira, “Tidak akan ada perceraian,
bukankah sudah kukatakan kepadamu?”
“Aku
akan menggugatmu, segera. Aku sudah muak menjadi pelampiasan kebencianmu tanpa
tahu kenapa. Aku sudha muak menyadari kau menipuku dalam pernikahan ini,
mengira kau mencintaiku.” Napas Saira tercekat menahan air matanya yang mulai
tumpah, “Dan kemudian aku tahu semua itu hanyalah kebohongan, kebohongan palsu
yang sangat kejam.” Air mata Saira akhirnya meleleh ke pipinya, “Aku
mencintaimu, kau pasti tahu itu..” suaranya bergetar ketika dia mengusap air
matanya dengan kasar dan melangkah berdiri, hendak meninggalkan Leo.
Tetapi
baru beberapa langkah, Leo meraih pergelangan tangannya dan mencengkeramnya.
Saira menoleh dan melihat pergolakan di wajah Leo, lelaki itu tampak kalut dan
bingung... akankah Leo menahan dan memeluknya?
Saira
mungkin terlalu banyak berharap, karena kemudian yang dikatakan Leo adalah
ucapan dingin yang arogan,
“Tidak
akan ada perceraian, Saira. Kau harus terima itu.”
Dengan
penuh kekecewaan akan jawaban Leo, Saira menyentakkan tangannya dari pegangan
Leo dan melangkah setengah berlari menuju kamarnya, sejauh mungkin dari
suaminya. Dia akan pergi dari rumah ini bagaimanapun caranya. Selama ini dia
bertumpu pada harapan kosong bahwa masih ada cinta Leo untuknya. Sekarang dia
sudah sepenuhnya sadar bahwa dia hanya bermimpi.
Pernikahan
ini sudah tidak bisa diperjuangkan lagi. Pernikahan ini sudah mati bahkan
sebelum dimulai. Dan Saira harus pergi meninggalkan Leo, kalau tidak dia akan
hanyut dalam nyeri dan patah hati.
Sumber
:
0 komentar:
Posting Komentar