“Ok, don’t worry, it as long as you need”…..
Aku mendengarnya tanpa disengaja, ketika aku berniat
memanggilnya untuk makan malam bersama, belum sempat aku mengetuk pintu
kamarnya, dan suara itu terdengar karena pintu kamarnya tidak tertutup rapat.
Aku tahu siapa yang sedang berbicara dengannya,
seorang mahasiswi semester 4, lebih tepatnya satu tahun lebih muda dariku,
tetapi karena aku telat kuliah, jadilah aku adik kelasnya. Satu universitas
tetapi beda jurusan, denganku dan dengan Danu.
Tok…tok…. Aku mengetuk pintu kamar yang sebenarnya
sudah sedikit terbuka, tanpa ada balasan, aku mendorong perlahan pintu itu dan
terlihat Danu sedang berbaring di ranjangnya. Ia mengangkat kepalanya, “ok, aku
akan turun, kamu duluan aja”, tanpa aku berkata apapun seolah ia tahu isi
kepalaku. Sebenarnya bukan karena ia mampu membaca pikiran orang, tapi karena
ia sudah paham sekali, aku akan ke kamarnya sekitar jam 7 malam, dan menariknya
turun untuk makan malam.
Nasi di piringku tinggal beberapa suap lagi, dan baru
terlihat Danu turun dari tangga. Dia duduk tepat diseberangku, dan mulai
membalik piringnya, mengambil sedikit nasi dan sayur. Makanku jadi melambat
karena mataku terus mencari arti dari raut wajahnya malam ini. Seperti bingung
tetapi senang, seperti seseorang yang diundang bertemu dengan putri tetapi
untuk menerima hukuman dari putri.
“Aku sudah, aku duluan yah…masih ada tugas.”, aku
mengucap salam kepada Danu dan tante Yuri yang masih berada di meja makan,
malam ini kami makan tanpa kehadiran om Rudi, ia sedang mengurus proyek baru
sehingga beberapa hari ini pulang agak larut.
Di tempat favoritku, kursi yang menghadapkanku pada
bintang dan bulan…Bukan berita baru bagiku, karena aku sudah mendengarnya
ketika beberapa bulan di semester awal, kabar kedekatan Danu dan Ana, mereka
bersekolah di SMA yang sama, dan Ana adalah adik kelasnya. Adik kelas yang
sangat dekat dengannya. Aku beberapa kali melihat sosok Ana di kampus, tanpa
bertegur sapa, karena memang kami tidak saling kenal. Entah seberapa dekat hubungan pertemanan mereka, tetapi Danu pernah
bercerita padaku, ketika Ana akan masuk universitas, mereka saling berdiskusi
dan Ana memutuskan masuk ke universitas yang sama dengan Danu, walau jurusannya
berbeda, dengan alasan Ana akan lebih mudah beradaptasi karena ada orang yang
dapat memberikan dia informasi lebih tentang kampusnya. Danu juga yang menemani
Ana mengikuti tes masuk universitas, dan orang tua Ana sudah mengenal Danu.
“Hush….melamun, katanya ada tugas?”, aku tersentak
kaget dan langsung menegakkan tubuhku, menoleh kearah pintu, dan Danu berjalan
kearahku. Tangannya memegang pundakku, “
mikirin apa?”, aku hanya tersenyum, menatap matanya. Ia hanya memelukku sesaat
dan mengucapkan selamat malam.
Kami memang sudah menjadi kekasih, namun kami
menjalaninya seperti sahabat, Danu hanya lebih bersikap lembut dibandingkan
sebelumnya, teriakan dan wajah juteknya sudah mulai memudar.
Hatiku
merasakannya, tentang arti dari raut wajahnya dan entah apa benar itu yang ia
rasakan. Rasa cemburu sekaligus bingung meyergapku, aku seperti melihat Danu
sedang jatuh cinta, tetapi bukan terhadapku.
“Tante, Tiara berangkat…”, aku setengah berteriak pada
tante yang sedang sibuk memotong sayuran di dapur. Suara gas motor memacu kaki
ku untuk berlari kecil keluar rumah, dan segera menaiki motor hitam yang
sepertinya akan meninggalkan aku bila aku terlambat 3 detik saja. Dan benar saja, belum
benar posisi dudukku, motornya sudah melesat membuat ku hampir jatuh ke
belakang. Refleks saja tangan ku menepuk pundak Danu dan sedikit keluar lagu
merdu dari mulutku, “Kebiasaan! Kalau jatuh gimana!” bukannya minta maaf,
seperti biasa, si jutek ini malah nambahin kecepatannya dan ikut bernyanyi
“Jangan bawel, pegangan aja.!”
Dikampus, kami jarang sekali bertemu, kami beda gedung
tapi yang pasti aku akan sms dia untuk ngajakin pulang bareng. Kalau aku jual
mahal ga minta pulang bareng, bisa-bisa aku harus berjuang ngejar jam bus dan
bertemu dia yang sudah sampai dirumah.
“Hari ini kamu naik bus aja yah, aku harus nganter
buku ke temen.” Sms dari Danu, yang buat aku jadi males pulang. Aku mampir ke
perpustakaan dan meminjam beberapa buku, bus nya masih setengah jam lagi, dan
aku sedang tidak terburu-buru. Aku mampir ke kantin dan baru berencana akan
keluar halaman kampus menuju halte. Didepan ku, didekat halte, aku tahu benar
motor hitam yang sedang tertahan lampu merah itu. Tapi ada seorang wanita
dengan rambut dibawah pundak yang agak bergelombang dibagian ujungnya sedang
naik motor bersama Danu, wanita yang tidak asing bagiku.
Aku duduk di sofa panjang lantai dua, membolak-balik
halaman buku yang tadi aku pinjam di perpustakaan. Tetapi pikiranku bukan
membaca buku itu, pikiranku sibuk membaca pertanyaan-pertanyaan dalam hatiku,
kemana Danu, kenapa harus berbohong, kenapa bersama Ana….pertanyaan yang
membuatku sesekali melihat detik jam yang terus bergerak, namun Danu masih
belum pulang juga.
Aku mulai bosan dan masuk ke dalam kamarku, mengecek
HP ku, berharap ada sedikit saja kabar darinya, namun sia-sia. Aku terus
bersama dengan rasa penasaranku, yang membawaku tertidur. Ketika terbangun,
ternyata sudah jam 5 lewat, ku langkahkan kakiku ke dalam kamar Danu, tetapi
dia masih belum ada. Aku turun dan membantu tante Yuri memotong sayuran untuk
makan malam, berharap ini dapat mengalihkan pikiranku.
Benar saja, tidak lama kemudian suara motor yang
sangat aku kenal terdengar mendekat, masuk ke garasi, dan tiba-tiba suaranya
hilang, digantikan dengan suara langkah kaki. Danu terlihat senang, dan aku
tersenyum menyambut kedatangannya, senyum menahan air mata. “Darimana Dan?”
tante Yuri menyapanya, melihatku yang diam tidak menyapa Danu. “ Dari rumah
temen ma, Danu mandi dulu yah.” Suara langkah kaki itu terdengar semakin
menjauh dan hilang.
0 komentar:
Posting Komentar